Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Solikin: Kami Hanya Ingin Perbaiki Hidup dengan Bertani

Mereka memutuskan pergi, karena nasib di kampungnya yang tidak berubah. Solikin sehari-hari hanya berjualan es lilin keliling.

Editor: Gusti Sawabi
zoom-in Solikin: Kami Hanya Ingin Perbaiki Hidup dengan Bertani
/
Sejumlah Eks Gafatar saat makan siang usai dibagikan nasi bungkus di tempat pengungsian di Bekangdam XII Tajungpura, Jl Adisucipta KM 7, Kuburaya, Kalbar, Kamis (21/1/2016). Pasca pembakaran pemukiman warga Eks Gafatar di dua lokasi di kabupaten mempawah, ribuan Eks Gafatar ini di ungsikan ke Bekangdam XII Tanjungpura sejak (19/1/2016) lalu. dijadwalkan ribuan Anggota Eks gafatar ini akan dipulangkan ke daerahnya masing-masing pada (22/1/2016) melalui jalur laut.TRIBUN PONTIANAK / ANESH VIDUKA 

Tribunnews.com, Surabaya - Para pendatang dari Kalimantan Barat yang kepergiannya terkait Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), terlihat menikmati suasana saat berada di ruangan dan barak di transito Dinas Ketenagakerjaan, Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Jatim, Sabtu (23/1/2016).

"Datang tadi pagi, sedikit kurang tidur, jadi kami mau tidur saja," kata Solikin (48), yang mengaku berasal dari Kademangan, Kabupaten Blitar.

Selain Solikin, ada istrinya, Ana dan anaknya, Bagus yang berusia 15 tahun. "Kami pergi bertiga saja. Baru dua bulan," tambah Ana.

Solikin dan Ana, mengatakan kepergian mereka ke Kalimantan Barat untuk mencari penghidupan yang lebih layak. "Kami ini hanya bertani. Tidak melakukan hal-hal lainnya," cerita Solikin.

Mereka memutuskan pergi, karena nasib di kampungnya yang tidak berubah. Solikin sehari-hari hanya berjualan es lilin keliling. Pendapatannya selalu dirasa kurang untuk hidup di Kademangan, Kabupaten Blitar. Mereka kemudian memutuskan pergi ke Kalimantan, dengan modal menjual dua sepeda motor.

"Dapat uang sekitar Rp 30 juta trus ke Kalimantan naik kapal, sampai di Pontianak dijemput teman-teman dibawa ke Mentawah," cerita Ana, dengan lancar.

Sementara Solikin hanya sedikit berbicara. Setelah berada di Mentawah, mereka mendapat lahan dan kemudian mulai mengolah tanah. Bercocok tanam, mulai jagung, palawija, dan ada yang menanam padi.

Berita Rekomendasi

"Kami senang sekali disana. Ayem rasanya. Kerja di lahan bersama-sama, gotong royong, makan juga saling berbagi," lanjut Ana.

Sebenarnya warga asli Mentawah, sangat terbuka atas kehadiran mereka. Warga asli, sebut Ana, hanya menolak warga pendatang asal Madura. Mereka takut ada konflik seperti di Sampit.

Tapi entah bagaimana, saat itu, sudah ada isu untuk diminta pindah. Sehingga mereka bersiap-siap pindah.

"Tapi belum sempat pindah sudah ribut. Akhirnya kami hanya bawa yang bisa dibawa saja. Baju hanya beberapa, lain-lainnya ditinggal," lanjut Ana.
Dengan dipulangkan kembali ke Jatim, Ana dan Solikin mengaku pasrah dan siap pulang. Menurut keduanya, mereka masih punya rumah. Sehingga masih bisa ditinggali. "Lainnya, belum tahu lah," lanjut Solikin, yang mengaku Sabtu pagi saat dikunjungi Gubenur Jatim mendapat uang saku Rp 500.000 untuk satu keluarga.

Selain keluarga Solikin, Ahmad (18), warga asli Pasuruan, mengaku siap pulang. "Tapi pulangnya tidak ke Pasuruan. Kami mau pindah ke Malang," kata Ahmad sambil menggendong adiknya yang berusia 2 tahun.

Hanya sedikit bicara, Ahmad mengaku pergi ke Kalimantan bersama bapak dan ibunya, serta dua adiknya yang lain. Mereka saat ini berada di Barak nomor 6. Ahmad mengaku siap mengikuti, tapi menurut bapaknya, lebih enak di Kalimantan. "Bapak bilang lebih enak disana. Kalau bisa pergi lagi, bapak mau pergi keluar pulau lagi untuk beli tanah dan bertani," tambah Ahmad sambil berjalan kembali ke barak 6.(rie/sri handi lestari).

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas