Nyadran, Tradisi Warga Ungkapkan Rasa Syukur Sekaligus Doakan Kartini
Bagi warga di desa tersebut, Nyadran sebagai ungkapan syukur hampir tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat.
Editor: Dewi Agustina
Gila
Nursalim mengatakan, Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila.
Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.
Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra.
Kemudian datang para Walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT. Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam.
"Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh masyarakat,” tandasnya.
Kepala Dusun Sorobayan, Sholeh menambahkan, tradisi Nyadran merupakan bentuk penghormatan atas jasa-jasa leluhur ketika berjuang membangun kampung yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu.
Warga berdoa kepada Tuhan untuk leluhur yang telah meninggal dan menghormati jasa mereka.
"Nyadran juga merupakan dakwah Islam Walisongo tanpa meninggalkan budaya lokal," jelasnya.
Dia menyebutkan, sehari sebelum Nyadran, warga bergotong royong membersihkan kuburan umum dusun, termasuk makam Kiai dan Nyai Polosoro, dilanjutkan dengan tabur bunga.
Sedangkan doa dan makan bersama sebagai puncak tradisi ini dilakukan di halaman Masjid Al Ikhsan Dusun Sorobayan.
Dia menyebutkan, dalam tradisi ini, kenduri menjadi satu rangkaian Nyadran yang paling ditunggu.
"Rasa kebersamaan antar keluarga dan warga lainnya tercipta di moment ini, tanpa membedakan kaya maupun miskin," katanya.
Beberapa pergeseran dalam melestarikan tradisi ini juga terjadi. Dahulu, kenduri dilakukan di sepanjang jalan menuju makam.
Namun karena faktor kebersihan, selanjutnya kenduri dilakukan di jalan dusun ini yang lebih bersih.