Jalan Panjang Warga Desa Jemah untuk Menembus Dunia Luar
Warga Desa Jemah, Jatigede, terisolasi sejak Bendungan Jatigede dialiri air. Untuk ke kampung sebelah banyak jalan yang harus dilewati.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Deddi Rustandi
TRIBUNNEWS.COM, SUMEDANG - Hampir setahun Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, bisa dibilang terisolasi terhitung Bendungan Jatigede digenangi air pada Agustus lalu. Setelah itu desa ini terputus dari dunia luar.
Untuk berhubungan dengan dunia luar warga Desa Jemah harus berjalan sekitar tiga kilometer melewati hutan belantara menuju Kampung Burujul, kampung terdekat yang berbatasan dengan Desa Cipicung, Jatigede.
Agar cepat sampai ke jalan utama Tomo-Jatigede, perjalanan harus dilanjutkan menggunakan ojek tapi tak sampai akhir seiring terus meningginya genangan di jalan ke arah Wado.
Akses tersisa, dengan rute Desa Ciranggem, lalu Desa Cisampih kemudian ke Mekarasih, lalu ke Jatinunggal, juga sudah tak bisa dilalui karena jembatan yang ada di Cikondang, Desa Ciranggem sudah terendam.
Satu-satunya cara adalah menggunakan perahu yang belakangan menjadi transportasi warga Desa Jemah jika ada keperluan pergi ke Wado.
Kandar (38), pemilik perahu yang sejak beberapa bulan ini menjalankan usahanya mengatakan hampir setiap minggu sekali banyak warga Jemah yang menyewa perahunya untuk berbelanja ke Pasar Wado.
Ukuran perahu milik Kandar memang lumayan besar. Setidaknya, perahu itu bisa menampung 20 orang, bahkan lebih jika dipaksakan.
Tak hanya dipergunakan untuk mengantar warga desa Jemah belanja ke Wado, perahu milik Kandar juga kerap disewa untuk mengantar warga berobat ke Wado atau ke RSUD yang ada di Sumedang Kota.
"Untuk berobat, dokter praktik terdekat memang ada di Wado. Di Kecamatan Jatigede sudah tak ada dokter yang buka praktek. Kalau pun ada hanya hari Jumat di Puskesmas Jatigede," kata Aga (54), warga Pasir Sabeulit, Desa Ciranggem, Kamis (5/5/2016).
Biaya sewa perahu untuk berobat ke dokter, menurut Aga, Rp 70 ribu per orang, pergi-pulang.
"Biasanya pasien juga diantar oleh dua orang, sehingga setidak-tidaknya perlu Rp 210 ribu. Jauh lebih besar dari biaya periksa dokter dan beli obat yang hanya Rp 50 ribu," sambung dia.
Dibanding ongkos warga Jemah yang akan berbelanja ke Wado, ongkos naik perahu untuk pasien yang akan berobat ke Wado memang lebih mahal karena pengemudi akan segera mengantarkan pasien tanpa menunggu perahunya penuh oleh muatan.
"Orang yang sakit kan tidak bisa menunggu. Kalau ada yang sakit pasien dan pengantarnya langsung diangkut menuju dokter ke Wado," kata Aga.
Untuk naik perahu dari dermaga dadakan bukan perkara mudah bagi pasien. Pasien harus ditandu sejauh hampir 500 meter meniti jalan setapak yang menurun. Maklum, Sabeulit merupakan bukit, jika tak hujan jalan mudah dilalui tapi kalau hujan jalan setapak menjadi licin.
"Untuk sampai perahu pasien harus ditandu dengan dinaikkan ke kursi atau sarung kemudian ditandu menuruni bukit," kata Aga.
Sesampai di Wado, ketika perahu menepi, angkutan berganti dengan ojek yang ongkosnya Rp 10 ribu sekali jalan.
Sertifikat
Karena perahu sudah menjadi alat transportasi utama di Jemah, banyak warga Jemah yang direlokasi ke Kampung Sabeulit dan Jatimekar akhirnya menjual sapi-sapinya agar dapat membeli perahu. Terdapat lebih dari 100 kepala keluarga warga Jemah tinggal yang tinggal di lokasi yang baru ini.
"Bapak saya menjual dua sapi dan dibelikan perahu yang saya pakai ini," kata Kandar.
Menurut dia ada dua perahu yang dipakai transportasi warga Jemah untuk berbagai keperluan. "Dua perahu ini dipakai mengantar warga ke Kampung Jatimekar dan Sabeulit. Kami kebanyakan masih saudara, dan kalau ada keperluan harus naik perahu," beber dia.
Kandar mengatakan, jika terpaksa, sebenarnya masih ada jalur darat yang bisa ditempuh, tapi jaraknya jauh sekali karena harus memutar lalu masuk hutan yang masih dipenuhi hewan liar.
"Kalau naik perahu jaraknya lebih pendek, paling cuma perlu 10 hingga 15 menitan dengan ongkos Rp 10 ribu sekali jalan," kata dia.
Perahu yang Kandar kemudikan dibelikan keluarganya dari Kadipaten, Majalengka. Ia harus belajar selama seminggu untuk bisa lihai mengemudikan perahu untuk antarjemput warga.
"Saya juga sudah dapat sertifikat yang saya peroleh secara gratis setelah mendapat pelatihan sebagai warga orang terkena dampak Jatigede," kata Kandar.
Menurut dia, kesulitan utama saat mengemudikan perahu di Jatigede banyak sampah yang menempel dan tergulung baling-baling perahu. Kini ia sudah hapal arah di Bendungan Jatigede dan harus mengambil jalur mana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.