Teguh Santosa: Bahasa Indonesia Rekatkan Perasaan Senasib dan Sepenanggungan
Teguh menghadiri HPN Daerah Kalteng mewakili Ketua Umum PWI Margiono yang berhalangan.
Editor: Robertus Rimawan
Teguh Santosa: Bahasa Indonesia Tulang Punggung Bangsa
TRIBUNNEWS.COM, MURUNG RAYA - Bahasa Indonesia merupakan salah satu elemen penting yang menopang gagasan kebangsaan dan negara Indonesia.
Bahasa Indonesia yang dikembangkan dari bahasa Melayu Pasar mampu menyatukan masyarakat yang berasal dari begitu banyak suku pada masa-masa awal kebangkitan nasional.
Sehingga dengan demikian, sudah semestinya bahasa Indonesia dipergunakan untuk menjaga ikatan kebangsaan Indonesia tetap erat dan kuat.
Anggapan sementara kalangan yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia kaku dan kuno serta tidak mampu bersaing dengan bahasa-bahasa lain di kancah internasional mencerminkan ketidakmampuan dalam meresapi arti perjuangan founding fathers yang telah mengorbankan diri dan nyawa mereka demi kemerdekaan Indonesia.
Demikian disampaikan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Teguh Santosa ketika memberikan sambutan dalam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 yang diselenggarakan PWI Kalimantan Tengah di Kabupaten Murung Raya.
Peringatan HPN Daerah ini diikuti ratusan wartawan se-Kalimantan Tengah dan dihadiri Wakil Gubernur Kalteng Habib Said Ismail beserta jajaran Pemprov Kalteng dan Pemkab Murung Raya.
Teguh menghadiri HPN Daerah Kalteng mewakili Ketua Umum PWI Margiono yang berhalangan.
“Sejarawan asing yang mengamati kelahiran dan revolusi kemerdekaan Indonesia mengakui bahwa bahasa Indonesia yang dikembangkan dari bahasa Melayu Pasar ini mampu mengikat kita semua sebagai sebuah bangsa."
"Perasaan senasib dan sepenanggungan di bawah penindasan penjajah direkatkan oleh bahasa Indonesia,” ujar Teguh.
Bahasa Indonesia, sebut Teguh yang juga dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini unik.
Keunikannya terletak pada fakta bahwa awalnya bahasa Melayu Pasar yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia hanya digunakan oleh suku Melayu yang terbilang minoritas.
“Rasanya, hanya di Indonesia, bahasa nasional yang menyatukan sebuah bangsa berasal dari suku minoritas."
"Ini memperlihatkan kemampuan bahasa Indonesia beradaptasi dengan bahasa-bahasa daerah lain, sekaligus memperlihatan bahwa orang Indonesia lebih mencintai persamaan di antara mereka daripada meributkan perbedaan,” ujar Teguh yang juga mengajar di London School of Public Relations LSPR (LSPR) Jakarta, dan kini tercatat sebagai Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK).
“Disebut Melayu Pasar, karena bahasa itu awalnya ada di pasar, tempat pertemuan penjual dan pembeli, juga kaum cerdik pandai."
"Mereka bisa berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana itu, dan pada gilirannya kita berhasil mengembangkan bahasa Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini,” masih kata Teguh.
Hal lain yang juga memiliki peran besar dalam meletakkan dasar-dasar kemerdekaan Indonesia, sambung Teguh, adalah insan pers nasional di awal abad ke-20.
Insan pers nasional menuliskan laporan-laporan mereka mengenai situasi dan keadaan hidup di bawah penjajahan yang dialami oleh masyarakat di banyak tempat.
“Mereka menuliskan laporan dan cerita dalam bahasa Indonesia sederhana. Membuat orang-orang dari suku dan tempat lain yang membacanya perlahan-lahan menyadari bahwa mereka semua hidup dalam situasi yang sama, di bawah penjajahan. Pada titik inilah bibit rasa kebangsaan itu muncul,” jelas Teguh lagi.
Teguh pun mengatakan, insan pers nasional tidak hanya memiliki peran di masa-masa pra dan awal kemerdekaan.
Di masa kini, di saat Indonesia menghadapi persaingan yang semakin ketata dengan negara-negara lain, insan pers nasional dituntut untuk memainkan peran yang lebih signifikan lagi.
“Insan pers yang kita butuhkan adalah insan pers yang memiliki kesadaran dan pemahaman bahwa pekerjaan mereka dibutuhkan untuk menjaga api NKRI tetap menyala abadi. Untuk itu, insan pers harus memiliki kompetensi yang memadai dalam menjalankan tugas mereka,” kata Teguh.
Teguh mengapresiasi PWI Kalteng yang telah menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebanyak delapan kali. UKW, menurut hemat Teguh, adalah perangkat untuk membekali insan pers dengan kompetensi dasar yang harus dimiliki, sekaligus menyadarkan mereka akan tugas dan tanggung jawab sosial di tengah masyarakat dan bangsa.
Dalam peringatan HPN Daerah Kalteng, PWI Kalteng meluncurkan buku putih yang berisi nama sekitar 280 wartawan se-Kalteng yang telah mengikuti UKW.
Usai memberikan sambutan, Teguh menyematkan pin emas di dada kanan Bupati Murung Raya Perdie M Yoseph yang dinilai memiliki perhatian besar dalam kehidupan wartawan dan ikut mengawal kebebasan pers. (*)