Cerita Masa Kecil Bupati Banyuwangi: Jualan di Sekolah Sampai Berbagi Uang Saku
Semua mata siswa SMK Negeri 2 Tegalsari Banyuwangi tertuju kepada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang bercerita tentang masa kecilnya.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Haorrahman
SURYA.CO.ID, BANYUWANGI - Semua mata siswa SMK Negeri 2 Tegalsari Banyuwangi tertuju kepada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang bercerita tentang masa kecilnya.
Mengenakan batik dan berpeci hitam, Anas memulai ceritanya sambil mendekatkan mulutnya ke mikrofon yang ia pegang dengan tangan kanan, Selasa (19/7/2016).
Cerita yang Anas sampaikan berurutan. Ia sulung dari 10 bersaudara. Sebenarnya ia anak kedua, tapi kakaknya meninggal saat masih kecil. Kondisi kehidupannya saat itu sangat sulit.
Hanya Anas yang menempuh pendidikan umum sejak sekolah menengah pertama. Sementara adik-adiknya sekolah di pendidikan agama. Anas lekat dengan pendidikan agama sejak kecil. Ia pernah menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah An-Nuqoyyah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura (1982 sampai 1983) dan Madrasah Ibtidaiyah Karangdoro, Tegal Sari (1980 sampai 1982).
Madrasah ibtidaiyah, setingkat dengan sekolah dasar, dikelola Kementerian Agama. Madrasah tsanawiyah setingkat sekolah menengah pertama, dan madrasah aliyah setingkat sekolah menengah pertama.
"Saya minta izin pada abah (ayah) agar bisa sekolah di umum. Beliau mengizinkan tapi ada syaratnya, saya tidak boleh kos," cerita Anas.
Ayah melarang Anas tinggal di indekos karena khawatir tidak terawasi secara baik oleh keluarga. Sejak sekolah menengah pertama pria kelahiran Banyuwangi, 6 Agustus 1973, ini meneruskan jenjang sekolah di pendidikan umum.
Anas tercatat sebagai murid SMP Negeri 1 Banyuwangi (1988-1989), SMP Negeri 1 Genteng, Banyuwangi (1986-1988), serta SMA Negeri 1 Jember (1992). Semasa SMP hingga SMA, Anas menetap di pondok.
"Kalau di pondok, minimal saya bisa salat Subuh berjemaah," beber dia.
Anas tak berasal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang kiai kampung dan berjualan. Sejak duduk di bangku madrasah, Anas terbiasa berjualan di sekolah. Ia terbiasa berjalan kaki dari pondok ke sekolah.
"Saya biasa berjalan kaki atau naik sepeda. Terkadang gandol truk atau mobil pikap ke sekolah," Anas meneruskan ceritanya.
Saat itu teman-teman Anas sudah banyak yang naik sepeda motor, bahkan ada orangtua yang mengantarkan anaknya mengendarai mobil. Kondisi kehidupan teman-temannya acap membuat Anas minder.
"Teman saya naik motor, ada yang naik mobil. Karena naik motor pacarnya cantik-cantik, sedangkan saya paling tidak laku," aku Anas.
Anas percaya orang sukses adalah mereka yang bisa mengendalikan kesenangan hari ini untuk masa depan.
Di sekolah menengah atas, Anas memiliki teman sekelas yang bernasib lebih sedih, Muhroji namanya. Ia anak keluarga miskin dari Ambulu. Muhroji sering ke sekolah dalam kondisi perut lapar.
"Muhroji ini jarang makan saat berangkat sekolah. Saya sering membagi uang saku saya dengan dia," kata Anas.
Saat itu Anas punya sedikit bekal uang karena nyambi bekerja di Radio Prosalina FM di Jember. Honor yang ia dapat dari bekerja di radio Anas bagi dengan Muhroji.
Muhroji hanya punya satu celana sekolah, yang ia dapat pertama kali saat mendaftar. Teman Anas ini hanya punya satu pasang sepatu andalan yang ia pakai sampai berlubang.
Ketika teman-temannya menggendong tas, Muhroji hanya mengandalkan kantong plastik untuk membawa buku-bukunya.
Saat musim hujan tiba, Muhroji harus menunggu celananya kering baru berangkat ke sekolah. Usai lulus sekolah menengah atas, Muhroji nekat ikut Anas ke Jakarta. Anas kuliah di Fakultas Teknologi Pendidikan IKIP Jakarta, sedangkan Muhroji tidak.
Sama-sama berjuang dalam kondisi serba sulit, Anas dan Muhroji memutuskan bekerja. Di awal kuliah Anas tak lagi bekerja. Tapi Muhroji bekerja meski sebagai tukang sapu.
Anas mengakui Muhroji sebagai teman yang gigih, setahun kemudian ia mendapat beasiswa dan kuliah di STT Telkom.
Meski berasal dari keluarga miskin, kesabaran dan kegigihan Muhroji melempangkan jalan hidupnya kelak. Ia dikenal sebagai anak yang pintar, sering salat berjemaah, tak pernah meninggalkan salat Duha dan Tahajud.
"Setelah sekian lama, saya bertemu Muhroji di Facebook, sekarang dia bekerja di Telkom Sumatera Utara. Dia sudah memberangkatkan orangtuanya haji, dan telah punya rumah," kenang Anas.
Berbekal kisah itu, Anas melarang semua siswa dari keluarga tak mampu untuk minder. Sebagai manusia harus beriktiar dan berdoa, serta mau bersusah payah.
"Teman saya yang naik motor dulunya paling top, sekarang jualan. Teman yang susah payah dan bekerja keras ada yang jadi camat di Situbondo. Kesuksesan itu tidak hanya dari usaha saja, tapi keajaiban dari Tuhan," kata Anas menutup ceritanya.