Kisah Warga Nunukan Bikin KTP, Bertaruh Nyawa dan Telan Biaya Capai Rp 10 Juta
Warga Desa Tao Lumbis, Kecamatan Lumbis Ogong, di pedalaman Kabupaten Nunukan mengaku kesulitan saat harus mengurus dokumen kependudukan
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, NUNUKAN - Warga Desa Tao Lumbis, Kecamatan Lumbis Ogong, di pedalaman Kabupaten Nunukan mengaku kesulitan saat harus mengurus dokumen kependudukan di ibukota Kabupaten Nunukan.
Jhonson, warga Desa Tao Lumbis mengatakan, untuk bepergian ke ibukota Kabupaten Nunukan, mereka harus melintasi sungai.
Itupun mereka baru bisa bepergian jika arus sungai sedang deras, pada saat musim hujan. Jika tidak, perahu akan sulit melintas.
"Jalan satu-satunya lewat sungai di sana, bergiram-giram dan melewati batu-batu gunung yang besar," ujarnya.
Ironisnya, sudah mangadu nyawa dengan medan sulit dan harus mengeluarkan biaya mahal, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Nunukan tidak akan memberikan toleransi jika ada berkas yang kurang saat akan mengurus dokumen kependudukan atau catatan sipil.
Seperti yang pernah dialami Jhonson pada 2010 silam.
"Saya tidak terima. Minta ganti minyak dulu untuk ambil persyaratan, karena itu makan biaya besar ke sana," ujarnya menceritakan pengalaman saat mengurus kartu keluarga.
Dia mengatakan, untuk kembali mengambil berkas yang kurang, tentu memerlukan biaya yang besar.
Untuk perahu dari Mansalong, ibukota Kecamatan Lumbis menuju ke Tao Lumbis sedikitnya menghabiskan satu drum bahan bakar minyak.
"Kalau perahu sendiri kira-kira Rp 4 juta. Kalau carter sampai Rp 8 juta sekali turun,” ujarnya.
Belum lagi biaya angkutan mobil dari Mansalong ke Kecamatan Sebuku ditambah biaya speedboat dari Kecamatan Sebuku menuju ibukota Kabupaten Nunukan, total biaya yang dihabiskan lebih Rp10 juta untuk sekali jalan.
Karena kesulitan seperti inipula, kata dia, warga akhirnya ada yang enggan membuat dokumen kependudukan.
“Malah ada yang memilih membuat IC Malaysia dan bekerja di sana,” ujarnya.
Dia menyebutkan, dari sekitar 200 kepala keluarga di Tao Lumbis, kini hanya sekitar 60 hingga 70 kepala keluarga saja yang tetap tinggal di Indonesia.
Selebihnya ke Malaysia untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Harapan kami ini bisa menjadi perhatian pemerintah,” ujarnya. (*)