Peristiwa Tanjung Balai Bukti Meningkatnya Intoleransi
Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara dinilai ekspresi intoleransi dan kekerasan yang tidak semestinya terjadi.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara dinilai ekspresi intoleransi dan kekerasan yang tidak semestinya terjadi.
Demikian dikatakan Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani melalui pesan singkat, Minggu (31/7/2016).
"Memang pemicunya sederhana yakni protes warga atas pengeras suara dari sebuah tempat ibadah, tetapi soal sepele yang terjadi di tengah masyarakat yang kurang toleran maka berbalas kerusuhan, apalagi diduga kuat terdapat sejumlah aktor yang memprovokasi," kata Ismail.
Setara Institute, kata Ismail, mengutuk keras tindakan pembakaran sejumlah tempat ibadah tersebut. Menurutnya, Polri dalam peristiwa ini telah mengambil langkah tepat dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama dan memulihkan situasi menjadi lebih kondusif.
Apalagi FKUB Sumut tercatat berkinerja baik dalam memajukan toleransi. Tetapi langkah tersebut belum cukup.
Ia mengharapkan Polri dapat mengungkap aktor penggerak kerusuhan tersebut. Sementara masyarakat diharapkan tidak mudah terprovokasi untuk melakukan aksi-aksi intoleran dan kekerasan lanjutan.
"Peristiwa tersebut memberikan pembelajaran bagi semua pihak, bahwa kondisi intoleransi di tengah masyarakat semakin meningkat. Berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang terus terjadi mengkonfirmasi status toleransi masyarakat yang semakin menipis," ungkap Ismail.
Ismail menuturkan pemerintah harus mengambil langkah mendasar dalam merespons seluruh peristiwa pelanggaran yang terus terjadi. Tidak hanya reaktif dalam peristiwa aktual seperti pemadam kebakaran.
Hampir dua tahun menjabat, ia menilai Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menag Lukman Hakim Saefudin, belum menunjukkan langkah dan kebijakan yang mendasar, berbasis fakta, komprehensif dan berdasar pada Konstitusi RI.
"Pemerintah hanya riuh saat peristiwa terjadi. Kementerian Agama dan Kemendagri memegang peranan kunci mengelola hubungan antar agama, meningkatkan toleransi, dan menghapus praktik diskriminasi atas dasar agama/keyakinan," katanya.
Seperti diketahui, sejak Jumat (29/7/2016) malam hingga Sabtu (30/7/2016) dini hari tadi, terjadi aksi anarkis dimana sekelompok massa melakukan pengrusakan di beberapa tempat ibadah.
Beruntung tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini dan kerugian ditaksir hingga ratusan juta rupiah. Sebanyak tujuh warga diamankan di Polres Tanjung Balai karena melakukan penjarahan.
Aksi ini dipicu karena adanya permintaan seorang warga inisial M yang meminta mengecilkan volume suara mikrofon di Masjid Almakshum di Jalan Karya.