Pengamat: Apakah Semua Peserta Didik Butuh Full Day School?
Program full day school yang digulirkan Mendikbud tak boleh diterapkan secara serampangan. Karena tak semua siswa butuh itu.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Sylvianita Widyawati
SURYAMALANG.COM, LOWOKWARU - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, sempat melontarkan wacana full day school untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama saat berada di Universitas Muhammadiyah Malang, Minggu (7/8/2016).
Jika ini diterapkan, siswa berada di sekolah pada Senin sampai Jumat dan Sabtu-Minggu mereka akan libur. Konsep full day school membuat peserta didik tetap berada di sekolah sampai sore. Peserta didik pulang ke rumah bersamaan dengan orangtuanya.
Kondisi yang selama ini umum terjadi, ketika siswa pulang sekolah, orangtua masih bekerja. Sehingga anak-anak kurang mendapat pengawasan.
"Bagaimana kalau siswa harus kursus atau mengaji? Ya, kegiatan kursus dan mengaji di sekolah. Mengaji, undang saja ustaznya. Sehingga semua dalam kendali sekolah," ujar Muhadjir kepada wartawan.
Menurut dia, ustaz dalam kendali sekolah lebih bagus daripada siswa mendapatkan ustaz yang memiliki pandangan ekstrim. "Malah bahaya," kata mantan Rektor UMM ini.
Soal peraturan menteri, Muhadjir menjawab belum. "Tunggu tanggal mainnya ya. Saya baru jadi menteri 10 hari. Insya Allah, doakan-doakan," kata dia lalu pamit.
Saat berada di Universitas Negeri Malang, Senin (8/8/2016), Muhadjir melontarkan kembali gagasannya. Di satu sisi ia akan mencari tahu lebih jauh soal regulasi-regulasi pendidikan yang lama agar saat mengeluarkan regulasi tidak salah. Misalkan pernah ada regulasi, namun tidak berjalan.
Terpisah, Ari Ambarwati, Ketua Pusat Studi Literasi FKIP Universitas Islam Malang menyatakan kurang sepakat jika program full day school dilaksanakan.
"Mohon dipikirkan lagi dampaknya. Misalkan pada sekolah-sekolah negeri yang gurunya kurang. Selain itu, apa semua anak butuh full day school?" kata Ari kepada Surya (Tribun Network), Senin (8/8/2016).
Menurut dia perlu dipertimbangkan kondisi geografis dan lingkungan sekitar sekolah. Jangankan di Papua, anak yang berdomisili di Jawa saja ada yang harus menyeberangi sungai, berjalan kaki cukup jauh untuk menjangkau sekolah.
Sehingga menurut pandangannya, adalah menyiapkan siswa agar bisa menaklukkan tantangan geografis dibanding memaksa anak-anak tinggal di sekolah lebih lama.
"Solusi full day school memang paling praktis. Namun tidak menyelesaikan. Analoginya, seperti orang sakit maka harus minum obat sebanyak-banyak. Padahal tidak seperti itu," ujar wanita berkacamata ini.
Alasan dia, tidak semua anak berkarakter bisa mengikuti full day school. Kecuali sudah sejak awal terbiasa karena pernah masuk madrasah yang menganut program full day school.
Belum lagi masih ada anak yang biasanya pulang sekolah, membantu orangtuanya bekerja. Belum lagi bagi sekolah yang memiliki siswa anak kebutuhan khusus.
"Jadi pendidikan tidak bisa digeneralisasikan. Karena pendidikan itu khusus," kata Ari.
Ia berharap, wacana ini tidak diterapkan tergesa-gesa. Karena banyak hal yang perlu dipersiapkan. Baik dari sekolahnya, gurunya dan siswanya.