Ada Kemungkinan Kerajaan Sriwijaya Berasal dari Jambi Bukan Palembang
Belakangan muncul pendapat kuat bahwa Kerajaan Sriwijaya sebenarnya berasal dari Jambi bukan dari Palembang.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, JAMBI - Berbagai penelitian dari dalam maupun luar negeri (internasional) mengenai Muaro Jambi.
Belakangan muncul pendapat kuat bahwa Kerajaan Sriwijaya sebenarnya berasal dari Jambi bukan dari Palembang.
Bahkan dalam seminar internasional yang dibuka Gubernur Jambi Drs H Hasan Basri Agus, MM (HBA), 20 Agustus 2014 menghasilkan pembicaraan para ahli baik dari Jepang, Amerika Serikat dan negara lainnya bahwa memang ada kemungkinan kuat Kerajaan Sriwijaya berasal dari Jambi bukan dari Palembang.
Sedangkan artifek berupa candi dan sebagainya di Palembang sebagai tanda bahwa mereka pernah berada di Palembang. Namun dasar mukim utama kerajaan ini berasal dari Jambi.
"Kerajaan Sriwijaya diduga kuat berada di kawasan Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Meski terkenal sebagai pusat berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, Palembang ternyata tidak memiliki banyak bukti peninggalan," ungkap Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Prof Agus Aris Munandar.
Asumsi Prof Agus tersebut didasarkan atas penemuan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya serta petirtaan berupa sumur di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, oleh 43 mahasiswa dan 5 dosen pembimbing yang tergabung dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Arkeologi Universitas Indonesia (UI) pada 16 hingga 28 Juni 2013.
Candi-candi di lokasi situs sejarah Candi Muaro Jambi mulai dibangun sejak tahun 400-an. Pusat kerajaan maritim besar ini sebelumnya diklaim berada di kawasan Palembang, Sumatera Selatan.
Sementara Jambi hanya disebut sebagai pengembangan kota raja saja.
Nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.
Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, didirikan tahun 682.
Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Coedès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama. Pertama dari catatan sejarah Tiongkok dan kedua dari sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan.
Catatan perjalanan bhiksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671.
Lepas dari sejarah tersebut, pantauan Tribunnews.com baru-baru ini ke lokasi bersejarah Muaro Jambi terlihat tertata baik, disamping semakin diramaikan para penjual berbagai produk, makanan minuman, sewa sepeda dan sebagainya, membuat semrawut lokasi sejarah Muaro Jambi tersebut.
Belum lagi tempat sampah yang sangat jarang membuat para pengunjung akhirnya membuang sampah sembarangan.
Perlu pembenahan lebih baik lagi oleh Pemda Jambi lokasi yang sangat bersejarah tersebut.
Jika tak memiliki dana, ada baiknya meminta bantuan ke berbagai negara lain seperti Jepang atau badan kebudayaan internasional semacam UNESCO, guna menata kembali berbagai lokasi candi yang kurang terurus saat ini di lokasi komplek percandian terluas di Asia Tenggara ini.
Situs Muaro Jambi ini mempunyai luas 12 kilometer persegi, panjang lebih dari tujuh kilometer serta kawasan seluas 260 hektar yang membentang searah dengan jalur Sungai Batanghari.