Filosofi di Balik Petik Laut, Tradisi Nelayan Muncar Sejak Lama
Tradisi Petik Laut para nelayan Muncar setiap pertengahan bulan Syura memiliki filosofi mendalam. Begini penjelasannya.
Editor: Y Gustaman

Laporan Wartawan Surya, Haorrahman
SURYA.CO.ID, BANYUWANGI - Setelah mengangkat tradisi agraris, Banyuwangi Festival kini menampilkan ritual masyarakat pesisir, yakni Petik Laut Muncar.
Tradisi sedekah laut akan digelar di Tempat Pelelangan Ikan Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (16/10/2016).
Upacara petik laut merupakan perwujudan rasa syukur nelayan Muncar. Di acara ini mereka akan melarung sesaji ke tengah samudra.
Ketua penyelenggara, HM Hasan Basri, mengatakan petik laut biasa digelar setiap pertengahan bulan Syura tepatnya pada 15 Syura penanggalan Jawa.
"Pada pertengahan bulan itu air laut pasang," ujar Hasan kepada Surya, Jumat (14/10/2016).
Tradisi ini telah dilakukan masyarakat nelayan Muncar sejak 1901. Dari tahun tersebut hingga sekarang masyarakat Muncar tak pernah melewatkan tradisi ini.
“Karena kami mempercayai, jika tidak melakukan ritual ini akan mengalami bencana. Sehingga kami pun tak pernah melewatnya ritual ini,” kata dia.
Sebelum ritual inti melarung sesaji, tradisi ini memiliki rangkaian ritual yang cukup panjang. Satu bulan sebelum upacara digelar nelayan telah membuat gitik.
Gitik adalah sebuah perahu kecil sepanjang sekitar lima meter. Gitik akan digunakan untuk membawa ugo rampe (material) sesaji yang akan dilarung ke laut pada puncak ritual petik laut.
Gitik ini dicat warna-warni dan dihiasi bermacam bendera kecil-kecil layaknya perahu layar yang akan berlayar. Setelah selesai dibuat, gitik akan disimpan di salah satu rumah tetua adat.
“Baru mendekati H-3 upacara ritual, gitik mulai diisi sesaji lengkap dengan ugo rampenya. Seperti, buah-buahan, candu, pisang saba mentah, pisang raja, nasi tumpeng, nasih gurih, nasi lawuh, kinangan sirih dan beragam hasil pertanian dan perkebunan, beragam kue-kue. Tak lupa kepala kambing dan dua ekor ayam jantan yang masih hidup dimasukkan dalam gitik,” terang Hasan Basri.
Filosofi isi sesaji ini banyak sekali, misalnya pisang raja. Saat melaut, nelayan seakan-akan sebagai raja lautan yang gagah berani, pantang menyerah berbantal ombak dan berselimut angin.
Kinangan sirih melambangkan masyarakat yang selalu ingat akan petuah dan menghormati yang lebih tua atau para lelehur.
"Kepala kambing mengibaratkan manusia dalam bekerja tak hanya menggunakan tangan dan kaki, tetapi menggunakan otak sehingga lebih berhati-hati dibarengi mata hati," beber Hasan.
Satu hari sebelum sesaji dilarung, dilakukan upacara ider bumi atau putar bumi menjelang pukul 14.00 WIB. Gitik yang sudah dipenuhi sesaji tersebut dibawa keliling Muncar hingga sore hari.
Usai dibawa keliling, gitik dikembalikan lagi ke tempat semula untuk persiapan larung keesokan harinya.
Sebelum dilarung, pada Sabtu (15/10/2016) malam usai salat Magrib, warga melakukan ruwatan atau tirakatan dengan mengadakan doa bersama dan macapatan.
Dalam macapatan ini warga membaca dan melagukan syair-syair doa dari kitab suci yang mengkisahkan Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, hingga pagi.
Selanjutnya pada Minggu, tepat pukul 06.00 WIB, warga mengarak gitik yang istilahnya kirab sesaji menuju TPI Muncar untuk melarungnya ke tengah samudra.
Satu hari sebelum pelaksanaan Petik Laut Muncar, Banyuwangi Festival juga akan menghadirkan Fish Market Festival di lokasi yang sama pada Sabtu pekan ini.
Festival akan diisi beragam acara, mulai bakar ikan massal oleh ribuan warga Muncar, hingga digelar pameran ikan segar, ikan hias, budidaya air tawar dan produk olahan hasil perikanan dan kelautan.
Wisatawan yang hadir dapat berbelanja hasil-hasil perikanan dan kelautan yang dijual warga dalam event yang dipastikan menghibur.