Ruang Sidang Penuh! Biasanya Tiga tapi Terdakwa Ini Didampingi 100 Pengacara Sekaligus
Bahkan para pengacara yang mengenakan atribut pengacara berjubah hitam dan dasi putih itu terlihat ada yang duduk di bangku peserta sidang.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Agenda sidang kasus pemalsuan surat di ruang Candra Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (3/11/2016) beda dari biasanya.
Pengacara pendamping terdakwa yang biasanya hanya berjumlah tiga orang, siang itu menjadi 100 orang.
Para pengacara itu duduk dalam tiga barisan kursi.
Bahkan para pengacara yang mengenakan atribut pengacara berjubah hitam dan dasi putih itu terlihat ada yang duduk di bangku peserta sidang.
Sidang tersebut memang lain dari biasanya, karena terdakwa dalam kasus tersebut adalah juga seorang pengacara yakni Sutarjo SH dan Sudarmono SH.
Tercatat ada 100 pengacara yang ikut berpartisipasi membela rekan seprofesinya tersebut.
Saat pimpinan sidang, Jihad Arkhanudin membacakan vonis 3,5 tahun penjara kepada Sutarjo dan Sudarmono, para pengacara kompak meneriakkan banding.
"Masih ada pengadilan yang lebih tinggi, kita harus banding," kata salah seorang pengacara pembela.
Dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan, jika terdakwa terbukti melakukan pemalsuan surat sebagaimana dalam pasal 263 KUHP.
"Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama tiga tahun enam bulan," ujar hakim Jihad.
Bambang Sucipto, kuasa hukum terdakwa mengaku menghormati putusan hakim, namun di sisi lain juga menyayangkan.
"Dalam fakta persidangan jelas terungkap jika kedua terdakwa sebagai advokat yang menjalankan profesinya dengan mendapat kuasa dari seorang klien," terangnya.
Anehnya justru keduanya tidak mendapat perlindungan hukum sesuai amanat UU No 18 tahun 2003 tentang advokat dan putusan Mahkamah Konstitusi No 26/PUU-XI/2013.
"Ini adalah upaya kriminalisasi terhadap advokat, dan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia," ujarnya.
Sutarjo dan Sudarmono dilaporkan ke Polda Jatim karena dituding melakukan pemalsuan surat dan pencemaran baik, setelah melaporkan notaris atas nama Mashudi ke majelis pengawas daerah notaris Gresik pada 2009.
Kedua terdakwa merespons pengaduan kliennya yang menyebut notaris tersebut melakukan pelanggaran kode etik dalam pembuatan akta kepemilikan tanah, akibat konflik praktik jual beli tanah. (Kompas.com Kontributor Surabaya/ Achmad Faizal)