Presiden Joko Widodo Bubarkan Lembaga Ini, Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Mengeluh
Pengusaha korban lumpur Lapindo menduga pembubaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) bernuansa politis.
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Surya, Irwam Syairwan
TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO - Presiden Joko Widodo membubarkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Padahal, permasalahan ganti rugi korban lumpur Lapindo yang sudah menginjak tahun ke-11, masih terkatung-katung. Terutama bagi para korban di kalangan pengusaha.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL), terdapat 30 pengusaha yang sampai saat ini belum mendapat kejelasan mengenai ganti rugi aset sebesar Rp 800 miliar tersebut.
"Kejelasan ganti rugi belum ada, ini pemerintah malah membubarkan (BPLS). Menurut kami, keputusan pembubaran ini bernuansa politis karena pemilik utama Lapindo yang juga ketua salah satu partai itu masuk bergabung ke dalam koalisi pemerintahan," kata salah satu anggota GPKLL, Joni Osaka, Selasa (14/3/2017).
Joni mengaku memiliki aset lahan seluas 48 hektar. Aset itu diestimasi seharga Rp 50 miliar. Estimasi harga aset miliknya maupun total di GPKLL merupakan estimasi 2013. Dengan demikian, harga saat ini kemungkinan besar naik.
Aset yang Joni miliki itu tadinya berdiri pabrik mebel dengan 300 karyawan. Posisinya dekat sekali dengan semburan lumpur, yaitu di Desa Ketapang.
Akibat luapan lumpur, Joni mengalami kebangkrutan. Padahal, tanggul lumpur yang saat ini berdiri kokoh itu ada sebagian lahannya yang dipakai.
"Saya bahkan ikut sumbang material bangunan ketika pembangunan tanggul dimulai. Namun nasib saya dipermainkan seperti ini," ujar Joni yang kemudian matanya tampak berkaca-kaca.
Joni dan rekan-rekannya sangsi pemerintah akan memikirkan nasibnya. Sebab, menurut Pasal 5A Perpres pembubaran BPLS ini sangat tidak berpihak kepada para korban golongan pengusaha.
Ia memaparkan pasal tersebut berisi pembayaran ganti rugi kepada pengusaha korban lumpur akan dilakukan sepenuhnya oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).
Padahal berdasarkan putusan MK yang sudah incraht, yaitu Nomor 83/2013 dan 63/2015, menyatakan pembayaran ganti rugi untuk pengusaha harus segera dilakukan dan tidak ada pembedaan perlakuan antara pengusaha dengan warga biasa yang menjadi korban lumpur Lapindo.
"Yang kami resahkan, pasal Perpres itu tidak menyatakan adanya batasan waktu pembayaran oleh MLJ. Bisa-bisa sampai 100 tahun ke depan juga tidak akan dibayar," tegasnya.
Hengky Listia Adi, yang tadinya menjabat sebagai Subpokja Humas BPLS, menuturkan sudah lebih dari 98 persen pelunasan ganti rugi warga korban lumpur, baik di dalam peta area terdampak (PAT) maupun di luar PAT.
Dijelaskan, untuk warga tersisa 829 berkas yang belum dibayar dengan nilai Rp 193 miliar. Selain itu, ada juga 270 berkas berupa fasum/fasos, baik aset pemkab maupun perorangan dengan nilai Rp 478 miliar.
"Terakhir 59 berkas tanah wakaf yang belum lunas dengan nilai Rp 74 miliar," tandas Hengky.
Untuk golongan pengusaha, sebagian sudah ada yang dibayar berupa uang muka. Data di BPLS sama dengan data GPKLL, yaitu 30 pengusaha.
Permasalahan belum jelasnya ganti rugi para pengusaha ini karena belum ada titik temu nilai ganti rugi antara MLJ dengan pengusaha tersebut, karena skema pembayarannya bukan cash&carry seperti warga biasa, melainkan bussines to bussines.
Nilai kerugian kalangan pengusaha yang dimiliki BPLS hanya sekitar Rp 700 miliar, berbeda dengan yang diestimasi GPKLL, yaitu Rp 800 miliar.
Kendati banyak persoalan yang belum tuntas terkait ganti rugi, Hengky menyatakan pihaknya masih tetap bekerja sebagaimana biasanya. Hengky menerangkan, Perpres pembubaran itu akan aktif satu tahun mendatang, karena masih harus menunggu transisi pembubaran.
Bahkan, pihaknya masih melakukan pengawasan lumpur yang masih mengeluarkan sekitar 40.000 meter kubik lumpur panas per detiknya. Pihaknya pun tetap mengerjakan pembuatan aliran air di atas tanggul untuk pencegahan banjir Jalan Porong.
"Memang sudah bubar, namun selama satu tahun ke depan kami akan berupaya menyelesaikan masalah yang bisa kami selesaikan sembari menunggu masa transisi ini," ucapnya.(*)