Anggap Tiga Kambingnya Anak Sendiri, Nek Samitun Ogah Pindah Rumah
Di usianya yang sudah 85 tahun Samitun memilih hidup mandiri serumah dengan tiga kambingnya. Sementara suaminya, Tego, sudah lama meninggal.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Rahadian Bagus
TRIBUNNEWS.COM, PONOROGO - Di usianya yang sudah 85 tahun Samitun memilih hidup mandiri serumah dengan tiga kambingnya. Sementara suaminya, Tego, sudah lama meninggal.
Perempuan yang tak dikaruniai anak ini sudah menganggap tiga kambing yang ia namakan Blegon dan Koploh, dan Gembrut, seperti anak sendiri.
Seperti ibu yang menyayangi anak kandungnya, begitulah Samitun. Ia berbagi ruang bersama tiga kambingnya di rumah sederhana yang berdinding bambu lapuk.
Di rumah berukuran sekitar tujuh meter kali sepuluh meter berlantaikan tanah, Samitun tidur di sebuah ranjang anyaman bambu berlapis karung bekas. Di sisi peraduan ada tungku kayu tempat ia memasak.
Tak ada perabot selain lemari kayu yang sudah reyot dan kandang ayam. Di dalam rumahnya juga tidak ada lemari pakaian. Bajunya ia simpan di dalam karung bekas.
"Saya lebih suka hidup sendiri, bersama kambing-kambing saya," kata Samitu saat menyambut Surya di rumahnya, RT 1 RW 3 Duku Brakal, Desa Biting, Kecamatan Ponorogo, Jumat (21/4/2017).
Samitun sudah lama hidup bersama kambingnya yang ia peroleh dari upah merawat kambing. Dia sengaja menamakan kambing-kambingnya agar menurut saat dipanggil.
Dia jarang mengikat kambing-kambingnya selama berada di dalam rumah. Tak jarang kotoran kambing berserakan di mana-mana, sampai ranjang Samitun pun ada.
"Kasihan kalau diikat," ungkap dia yang sehari-hari mencari rumput.
Setelah meletakkan keranjang berisi rumput, ia masuk ke dalam rumahnya dan menyapa tiga ekor kambingnya. Sepertinya manusia, Samitun mengajak kambing-kambingnya berdialog.
"Sik, sabar nggih (tunggu, sabar ya)," kata dia sambil membuka pintu rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu.
Blegon dan Koploh mengembik melihat majikannya. Begitu juga Gembrut, anak kambing perkawinan dari Blegon dan Koploh.
Samitun kemudian mengambil sebuah bungkusan plastik berisi ketela rebus yang digantung dipaku di tiang penyangga rumah. Ia mengambil beberapa ubi rebus itu, lalu menyuapi kambingnya.
Hanya dalam waktu singkat, ubi rebus di tangannya sudah habis dimakan. "Empun telas nggih. Gek nyisih maneh (sudah habis ya, buat nanti lagi)," ucap Samitun.
Tiga ekor kambingnya Samitun beri makan tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan malam hari.
Sehari-hari ia mencari kayu bakar untuk dijual. Satu ikat atau satu gendong kayu biasanya dia jual Rp 10 ribu. Ia juga mengumpulkan kotoran kambingnya untuk dijual, per karung Rp 10 ribu.
"Itu sudah laku, sudah dibayar. Uangnya sudah dipakai buat beli makan," kata dia sambil menunjuk karung putih berisi kotoran kambing.
Dikatakan Samitun, ia sangat menyayangi tiga ekor kambingnya. Sudah ada beberapa orang yang hendak membelinya, namun ia belum mau menjualnya.
Tak sedikit banyak saudaranya menawari Samitun untuk pindah dan hidup bersama mereka. Satu di antaranya Wagiyem (70), adik kandung yang rumahnya berdempetan dengan rumah Samitun.
Semua ajakan tersebut Samitun tolak. Ia mengaku tidak ingin mengganggu dan merepotkan saudaranya yang sudah memiliki keluarga sendiri.
"Mereka kan sudah berkeluarga, punya keluarga sendiri," kata Samitun.
Meski hidup pas-pasan, Samitun tak pernah mengeluh dan enggan hidup bergantung dari bantuan orang lain. Ia selalu bersyukur diberi umur panjang dan kesehatan.
Di usianya yang sudah senja, ia masih bisa hidup mandiri dan mampu bekerja untuk menafkahi hidupnya sendiri.
Misiran (49), keponakan Samitun, mengatakan kakak kandung ibunya itu memang pekerja keras dan juga memiliki kepriadian yang keras.
"Mbokde saya memang wataknya keras, seperti orang zaman dahulu," kata ayah satu anak ini.
Sebelumnya Samitun sempat merantau bekerja di Surabaya bersama suaminya. Sejak suaminya meninggal Samitun hidup sendiri di desa.
Sebagai saudara terdekat ia pernah menawari Samitun agar tinggal serumah dengan keluarganya dan ibunya. Namun, Samitun memilih hidup bersama tiga ekor kambingnya.
"Kalau pas sehat tidak mau. Dia pilih tinggal sendiri," kata Misiran.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang tambal ban ini mengatakan, Samitun jarang sekali sakit meski tinggal bersama kambing.
Setiap pagi, usai bangun pagi Samitun mengumpulkan kotoran kambingnya. Kemudian, pergi ke hutan mencari rumput, kayu, dan juga kunir.
"Naluri dagangnya luar biasa. Apa saja yang bisa dijual, dijual," Misiran menambahkan.
Samitun tidak mau dipisahkan dengan kambingnya. Ia menuturkan, di samping rumah Samitun terdapat kandang kambing, namun Samitun enggan menaruh kambingnya di kandang.
Misiran mengaku sudah pernah mencoba untuk membuat sekat pembatas, agar tempat tidur Samitun dengan tempat kambing tidak jadi satu. Namun, Samitun menolak.
Dikatakan Misiran, tak jarang Samitun membelikan makanan untuk kambing-kambingnya. "Kadang dibelikan gorengan, pisang rebus, ubi," beber dia.
Selain mendapat penghasilan dari menjual kayu dan kunir, Samitun juga memiliki ladang yang dirawat keponakannya. Biasanya, setiap kali masa panen, Samitun mendapat bagian dari hasil ladang miliknya.
Kisah nenek yang tinggal bersama kambingnya ini telah ramai dibicarakan di media sosial setelah kisah dan fotonya diunggah di grup Facebook oleh seorang netizen.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.