Kisah Fatimah dan Ibunya, Hidup di Pinggir Rawa, 9 Tahun Hanya Makan Mie Instan
Dalam kondisi hamil, Bu Nur meninggalkan rumahnya dan memutuskan untuk membuat gubuk di tanah dekat rawa bekas galian tambang pasir.
Editor: Dewi Agustina
KISAH ini bermula dari 10 tahun lalu. Saat itu Bu Nur (45) yang sedang mengandung Siti Fatimah ditinggal suaminya karena menjalin hubungan dengan perempuan lain.
Dalam kondisi hamil, Bu Nur meninggalkan rumahnya dan memutuskan untuk membuat gubuk di tanah dekat rawa bekas galian tambang pasir di galian C Klungkung.
Daerah itu merupakan bekas lokasi tambang pasir dan daerah yang terisolasi, tak ada akses jalan dan listrik.
Siti Fatimah lahir di sana, di gubuk pinggir rawa itu.
Selama 9 tahun, tak ada orang yang peduli dan tahu tentang kisahnya.
Sampai suatu ketika, di awal Januari 2017, Siti Fatimah menangis di bawah tiang listrik di depan masjid sepulang mengaji karena ia tak bisa pulang.
Selama ini yang biasanya antar jemput secara sukarela lupa untuk mengantarkan Fatimah pulang.
Sang Ustaz akhirnya mengantarkannya pulang.
Betapa terkejutnya, ketika mengetahui gadis kecil yang rajin mengaji ini tinggal di sebuah gubuk 1,5 x 1,5 meter di pinggir rawa-rawa, tak ada listrik dan akses jalan yang layak.
Akhirnya dengan dana spontanitas yang digalang, ustaz Munawir membuatkan huntara (hunian sementara) yang layak dengan triplek berukuran 2,5 x 2,5 meter sebagai tempat tinggal sementara.
Siti Fatimah, ia tak pernah mengeluh atau pun menampakkan kondisi yang ia alami. Ia siswa yang rajin dan selalu juara kelas.
Anaknya ceria dan percaya diri, itulah yang membuat orang di lingkungan sekolah ataupun teman-teman ngajinya tak tahu kondisi sebenarnya Fatimah.
Saat zakat fitrah pun, Fatimah tak pernah ketinggalan. Ya, ia tak pernah meminta-meminta meski dalam kekurangan.
Baca: Berawal dari SMS Nyasar, ABG 16 Tahun Disetubuhi Lalu Dijual kepada Pria Hidung Belang
Ibunya, berjuang dengan mencari kangkung dan menjual ke beberapa warung.
Saat kondisi air pasang, Bu Nur memberanikan diri untuk berenang melewati rawa demi menjual kangkungnya ke warung seberang karena tak ada alat transportasi kecuali dengan ban dalam bekas.
Saat surut, ia berjalan melewati rawa dan sungai.
"Saat saya bangunkan huntara, Fatimah ini ia sibuk sekali dengan bukunya, ia terus belajar, menikmati sekali belajarnya. Ia anak yang rajin dan selalu juara di sekolah, ngajinya juga rajin tak pernah sekali pun bolos. Ia tetap masuk meskipun sakit. Anaknya semangat," jelas Ustaz Munawir.
Sungguh, saya merasa tertampar bertemunya, menangis hati ini bertemu dengan Bu Nur yang selalu senyum sumringah.
Malu rasanya jika kita hidup berkecukupan namun masih banyak mengeluh kurang ini itu.
Malu rasanya mendengar kisahnya dan bertemu dengan Fatimah yang selalu ceria.
Setiap hari 2 perempuan tangguh ini hanya mengkonsumsi mie instan.
Ya, hanya mie instan selama 9 tahun di gubuk kecil, memasaknya di atas tungku dengan kayu-kayu kering.
Mungkin kita tahu namanya rawa, tak ada air bersih tersedia. Namun Allah Maha Adil, 20 meter dari gubuk Fatimah, ada sumber air bersih dan jernih.
Ia minum dan mandi di sana tanpa penghalang dan MCK yang layak. Sulit dipercaya ada sumber di sana, namun inilah kuasa Allah.
Kita beruntung bisa bertemu Fatimah.
Bukan dia yang butuh bantuan kita, namun kitalah yang butuh dia untuk menjalankan kewajiban kita sebagai manusia yang punya cinta.
Bisa saja Tuhan menunjukkan pada orang lain tentang Fatimah.
Namun kali ini Tuhan memilih kita mendengar kisah Fatimah dan ibunya.
Bukan tanpa alasan, Sang Pencipta mempercayakan Fatimah pada kita karena kita mampu untuk peduli.
Fatimah mengajarkan pada kita bahwa bahagia tak harus selalu mewah.
Dalam kesederhaaan hidup, bahagia yang sebenernya itu ada.
Saya bersama Dompet Sosial Madani (DSM) bulan lalu menyalurkan bantuan hidup sekadarnya dan komitmen untuk beasiswa hingga ia sarjana.
Semua itu tak akan terwujud tanpa adanya kebersamaan orang baik seperti kita.
Rencana kedepan DSM untuk Fatimah dan ibunya, selain program beasiswa, dan biaya hidup, adalah relokasi tempat tinggal dan pemberdayaan ekonomi.
Bagaimana nantinya keluarga ini bisa direlokasi, pindah ke tempat yang lebih layak.
Selanjutnya, pelatihan pemberdayaan ekonomi agar Bu Nur memiliki penghasilan dari usaha, sehingga menjadi keluarga mandiri dan sejahtera.
Tak ada waktu terbaik dalam membantu sesama. Waktu terbaik adalah sekarang kita bertindak untuk kebaikan.
Terlebih bulan ini adalah Bulan Ramadan, bulan mulia bagi umat Islam. Apapun kebaikan yang dilakukan akan dilipatgandakan. Saatnya Bersama Peduli Sesama.
Penulis: Yayasan Dompet Sosial Madani Bali, Call Center DSM Bali: 081237671819