Ini Tanggapan Filolog dan Arkeolog Atas Klaim Majapahit Sebagai Kerajaan Islam
Sebuah hasil kajian yang menyimpulkan Kerajaan Majapahit merupakan Kesultanan Islam dipertanyakan oleh arkeolog senior dan ahli naskah kuno
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah hasil kajian yang menyimpulkan Kerajaan Majapahit merupakan Kesultanan Islam dipertanyakan oleh arkeolog senior dan ahli naskah kuno, karena dianggap tidak berdasarkan bukti-bukti yang kuat.
Mereka kemudian mengusulkan agar kajian itu dibahas bersama para ahli di bidangnya sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya.
Hasil kajian sebenarnya sudah dibukukan dengan judul Majapahit, Kerajaan Islam: Fakta Mengejutkan, pada 2010 lalu namun belakangan kembali menjadi sorotan di media sosial setelah seseorang mengutip keterangan dari buku tersebut.
Secara garis besar, kutipan itu menyebutkan bahwa Majapahit merupakan Kesultanan Islam dan Maha Patih kerajaan itu, Gadjah Mada, memiliki nama asli Gaj Ahmada dan beragama Islam.
Namun arkeolog senior Mundardjito -yang pernah melakukan penelitian di situs peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur- mengatakan klaim itu tidak memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat.
"Kok semuanya jadi di-Islam-Islamkan. Padahal, candi-candinya, reliefnya, semuanya enggak (Islam)," kata Mundardjito kepada BBC Indonesia, Minggu (18/6/2017) sore.
Menurutnya, secara stastitik, jumlah cagar budaya yang berupa bangunan dan arca -yang tersebar luas di kawasan yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan Majapahit- semuanya bersifat Hindu-Buddha.
"Benda-benda tidak bergerak itu tersebar sampai ke daerah Malang dan sebagainya, dan bangunannya jumlahnya ratusan, dan bentuknya bukan masjid, tapi (bersifat) Hindu-Buddha," jelas Mundardjito.
Adanya benda-benda cagar budaya itu, lanjutnya, merupakan bukti yang tidak bisa dibantah. Sebaliknya, bukti-bukti tulisan atau cerita lisan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
"Kalau benda itu wujudnya ada, itu 'kan bukti. Tapi kalau, misalnya, (tulisan) di koran, itu 'kan tertulis. Dan itu bisa saja dipakai untuk analisa untuk kepentingan macam-macam," katanya lebih lanjut.
Mundardjito juga mengkritik klaim penulis buku tersebut yang -antara lain- mendasarkan kesimpulannya berdasarkan temuan koin Majapahit bertuliskan La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah.
"Mata uang yang Islam itu cuma kecil, dan itu (benda) bergerak. Bisa dibawa siapa saja. Mata uang Cina juga banyak (ditemukan di situs Trowulan), ribuan jumlahnya," katanya.
Mundardjito mengakui memang ada temuan makam-makam Islam di beberapa tempat di situs Trowulan, tetapi tidak berarti kerajaan Majapahit adalah Kesultanan Islam, seperti diklaim penulis buku tersebut.
"Makam-makam itu memang makam Islam, tetapi jumlahnya tidak banyak dan baru muncul setelah tahun-tahun berikutnya," jelasnya.
Karena itulah, demikian Mundardjito, temuan sejarah baru harus memiliki bukti yang sahih, relevan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Apa tanggapan penulis buku?
Hari Minggu (18/6/2017), BBC Indonesia telah menghubungi penulis buku tersebut, Herman Sinung Janutama, melalui laman Facebooknya, tetapi belum ditanggapi.
Buku Majapahit, Kerajaan Islam: Fakta Mengejutkan (2010) disusun dan diterbitkan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah, Kota Yogyakarta.
Namun demikian, dalam wawancara dengan Tirto.id (Minggu, 18/6/2017), Herman secara garis besar mengatakan bahwa kesimpulan Majapahit adalah Kerajaan Islam didasarkan riset pada cerita lisan dan rujukan pada manuskrip kuno.
"Bagi orang Jawa yang masih menjalankan tradisi, Majapahit tidak pernah bukan Islam," katanya kepada Tirto.id.
Dia juga menyebut bahwa bukunya didasarkan kritik metodologi terhadap studi sejarah mainstream atau arus utama, yaitu dengan merambah manuskrip yang jarang menjadi referensi kajian soal Majapahit.
Herman kemudian mengaku dirinya menerapkan cara pandang berbeda dari para filolog dan sejarawan modern dalam pembacaan manuskrip Jawa.
Tentang sosok Gadjah Mada, Herman mengklaim bahwa sang Maha Patih Majapahit adalah penganut Islam, dengan berdasarkan catatan silsilahnya.
Namun demikian, dalam komentarnya yang dikutip laman Facebook milik Wakil Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta, Ashad Kusuma Djaya, sang penulis mengaku dirinya tidak pernah menyebut Gadjah Mada dengan sebutan Gaj Ahmada.
Kepada Tirto.id, Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Ryanto Tri Nugroho, juga mengatakan pihaknya mengklaim memiliki dasar kuat walau metode riset dan kesimpulannya berkebalikan dengan studi sejarah dan antropologi mainstream.
Kritikan dari ahli naskah kuno
Dihubungi secara terpisah, ahli filologi atau naskah kuno dari Universitas Gadjah Mada, Irawan Djoko Nugroho, mengatakan sejak awal mengkritik kehadiran buku karya Herman Sinung Janutama tersebut.
Irawan menyebut bahwa Herman menggunakan data Jawa baru untuk melihat sejarah Jawa kuno.
"Kalau data Jawa kuno, kita orientasinya ke sumber Pararaton, Negara Kertagama, kemudian prasasti-prasasti. Nah, ketiga data tersebut menunjukkan bahwa Majapahit itu Hindu, bukan Islam," kata Irawan kepada BBC Indonesia.
Dia menduga, Herman menggunakan data dan sumber baru yang disebutnya tidak merujuk kepada data-data yang lama.
"Dalam kajian filologi, teks baru tidak dapat merevisi teks lama. Namun teks lama dapat merevisi teks baru, karena dimungkinkan dalam teks baru timbul penambahan-pemabhana dari para penyalin," papar Irawan.
Irawan -penulis buku Majapahit Peradaban Maritim - juga menganggap Herman Sinung tidak menggunakan data sejarah resmi, yaitu yang sudah diakui oleh standar penulisan sejarah di Indonesia.
"Penulisan sejarah di Indonesia standarnya kan, pertama, data-data prasasti, kemudian data-data kakawin, data-data sejarah pendukung lainnya, kemudian didukung data-data dari Cina, kemudian data-data dari Arab," jelasnya.
Semua data itu, lanjutnya, menyebut bahwa Majapahit bukanlah kerajaan Islam. "Bahkan, data dari Arab sendiri menyatakan ketika orang Arab datang ke Majapahit, itu mengatakan bahwa Raja Majapahit masih orang kafir. Jadi bukan Muslim," tambahnya.
Bagaimanapun agar tim penulis buku tersebut diharapkan menjelaskan hasil kajiannya di depan para ahli di bidang tersebut.
"Minta saja orangnya untuk bicara di depan para ahlinya," kata Mundardjito.
Usulan itu juga didukung oleh Irawan. "Intinya, kita bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk saling belajar." (BBC Indonesia)