Jelang Yadnya Kasada, Ribuan Warga Antre Ambil Air Suci di Gua Widodaren di Pegunungan Tengger
Ribuan warga dari sejumlah daerah di Jawa Timur rela antre untuk mengambil air suci di Goa Widodaren, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, PROBOLINGGO - Ribuan warga dari sejumlah daerah di Jawa Timur rela antre untuk mengambil air suci di Goa Widodaren, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) , Minggu (9/7/2017) siang.
Warga yang datang berasal dari wilayah Bromo Tengger Semeru (BTS) yakni Lumajang, Malang, Probolinggo, dan Pasuruan.
Mereka datang dengan sejumlah bawaan sesaji mulai buah-buahan, sayuran, nasi campur, makanan ringan, ayam, bahkan ada pula warga yang datang membawa kambing.
Mereka ingin mengambil air suci yang dipercaya khasiat membawa berkah. Sesuai kepercayaan, air di goa ini mampu melancarkan rezeki, jodoh, karir, dan sebagainya.
Untuk diketahui air di sini, hanya boleh diambil tiga hari sebelum pelaksanaan ritual adat Yadnya Kasada, dan Jumat legi. Selain itu, air tidak boleh diambil sembarang.
Air ini termasuk air suci yang dipercaya oleh Suku Tengger. Letaknya ada di empat titik yakni di Probolinggo, Lumajang, Pasuruan dan, Malang.
Selain membawa sesaji, warga yang datang ke goa ini juga membawa beberapa botol air mineral kosong untuk diisi dengan air suci ini.
Perjalanan menuju goa ini pun tidak mudah. Namun, uniknya, warga tidak ada yang patah semangat dan tetap menempuhnya.
Lokasi goa ini berada di sebuah bukit di balik Gunung Batok. Untuk menuju kesana, warga ada yang menggunakan jasa angkutan umum seperti kendaraan hartop, truk, pikap, dan ada juga yang mandiri datang menggunakan sepeda motor.
Medan menuju goa ini sangat berat. Sebab, goa ini berada di ketinggian yang lumayan tinggi. Bila diukur, goa ini setara dengn ketinggian Gunung Batok.
Untuk sampai ke atas, warga harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak dengan panjang kurang lebih dua kilometer. Bahkan, jalanan ini berdebu.
Kondisi ini membuat penanjakan ke goa cukup berat. Karena warga harus menahan udara dingin,berdebu dan jalanannya pun menanjak.
Untuk sampai ke puncak, diperlukan waktu kurang lebih 50 menit. Bagi warga yang tidak tergesa - gesa, bisa lebih dari waktu itu.
Konon katanya, untuk mencapai goa ini tidak boleh dipaksakan. Harus pelan, tapi pasti sampai puncak.
Medan yang dilalui pun tidak mudah. Karena, kanan kiri jalan setapak itu adalah jurang. Bahkan, 100 meter sebelum sampai ke titik goa, jalannya semakin menyempit.
Tak hanya itu, jalanannya sangat licin dan mepet dengan tebing. Jalanannya berlumpur. Jika tidak hati - hati, siapapun bisa terpeleset dan masuk ke dalam jurang. Tidak ada pembatas jalan, atau pegangan satupun di jalan setapak ini.
Kondisi semakin berat, saat warga yang harus membawa sesaji anak kambing, dan ayam. Mereka harus menggendongnya sampai puncak gua widodaren tersebut.
Hal itulah yang dilakukan Suwarno. Pria asal Lumajang ini, membawa anak kambing. Hal itu dilakukannya untuk memenuhi kewajibannya tahun lalu.
Setahun yang lalu , ia pernah datang ke goa ini dan bertemu sesepuh tengger. Ia meminta lancar rezeki dan usahannya diberikan keberkahan.
"Saat itu saya berjanji dalam hati, semisal terwujud, saya akan datang kesini lagi membawa anak kambing. Ya, ternyata terwujud dan saya harus menepatinya," katanya kepada SURYA.co.id.
Dia mengaku lelah karena harus menggendong anak kambing dari bawah. Namun, hal itu tidak bisa tidak dilakukan, karena wajib.
Ia terpaksa mengajak tiga saudaranya untuk membantu menggantikan menggendong anak kambing agar bisa sampai puncak goa.
"Saya dulu diberi informasi teman, bahwa air suci goa ini mujarab bisa mendatangkan jodoh dan rejeki berlimpah. Makanya saya datang kesini, dan mencobanya, ternyata berhasil," jelasnya.
Untuk yang datang mengambil air suci ini tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun ikut andil. Seolah tak ada rasa lelah, anak - anak inipun tampak bersemangat menyusuri jalan menuju goa.
Sesampainya di atas , warga pun langsung mendatangi sesepuh Tengger yang sudah duduk bersilah di depan sebuah patung persembayangan.
Empat sesepuh tengger ini berasal dari tokoh adat dari empat kabupaten yang dilewati Tengger. Setelah itu , mereka menyerahkan sesaji yang sudah dibawanya dari bawah ke sesepuh.
Selanjutnya, warga tinggal menyebutkan apa permintaannya ke sesepuh. Semisal, minta jodoh, rejeki, tinggal disebutkan.
Setelah itu, sesepuh Tengger akan membacakan sebuah mantra. Tak lama, mereka diminta untuk mengambil air suci yang menetes di setiap dinding goa dan dibawa kembali ke sesepuh tengger.
Setelah itu, air akan diletakkan di atas bara api dan dicampuri bunga. Tak lama, sesepuh meminta kepada warga untuk minum air itu dan mengusapkannya ke muka mereka.
Setelah itu mereka diperbolehkan pulang. Bagi yang berkenan, diperbolehkan membawa air suci sebanyak mungkin tanpa ada aturan pengambilan. Namun, mereka harus rela mengantre dengan warga lainnya.
Sesepuh Tengger asal Desa Juwet, Kecamatan Tumpang, KabupatenMalang, Ponito mengatakan, tradisi mengambil air suci ini memang turun temurun.
Mata air di goa ini hanya boleh diambil sebelum kasada dan saat jumat legi.
"Air ini suci, dan dipercaya bisa membuat kulit tampak awet muda, lancar rejeki, lancar karir, menyembuhkan penyakit dan masih banyak lagi khasiatnya," katanya kepada Surya.
Dia menjelaskan, untuk sesaji ini sebenarnya tidak diwajibkan. Namun, berdasarkan sejarah dan cerita masyarakat tentang goa ini, maka siapapun yang datang harus membawa sesaji.
"Dulu, katanya disini itu dijadikan tempat bidadari myang turun dari kahyangan untuk mandi atau membersihkan diri. Suatu ketika, ada manusia meminta tolong bidadari ini yang kesulitan mendapatkan turunan," terangnya.
Selanjutnya, kata dia, bidadari itu, menyampaikan permintaan manusia pribumi itu ke Tuhan Yang Maha Esa.
Nah, dalam jangka waktu kurang lebih satu bulan, manusia itu mendapatkan keturunan.
Sang pria pun kegirangan dan akan berterima kasih ke bidadari itu"Wujud terima kasihnya dalam bentuk membawakan sesaji di goa itu. Makanya, goa itu disebut sebagai goa widodaren sampai sekarang ini," pungkasnya.