Misteri Tulisan Kuno di Serpihan Meriam Sultan Agung yang Belum Terpecahkan
Satu serpihan meriam diduga kuat dari zaman Sultan Agung menyisakan misteri yang sangat menantang.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Jogja, Setya Krisna Sumargo
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Satu serpihan meriam diduga kuat dari zaman Sultan Agung menyisakan misteri yang sangat menantang.
Deretan aksara Jawa yang tersisa di fragmen meriam besar itu belum terpecahkan artinya.
Jika deretan aksara itu bisa dibaca, kemungkinan bisa memberi petunjuk pasti tentang senjata ini.
Fragmen meriam kuno itu kini jadi koleksi Museum Plered.
Denny Perbawa, edukator Museum Plered, Rabu (13/9/2017), mengaku belum pernah mendengar cerita pembacaan aksara oleh ahli.
Namun tulisan itu diperkirakan dibuat tidak bersamaan pembuatan meriam.
Berbahan sejenis tembaga, tulisan itu terlihat dibubuhkan di permukaan besi cor badan meriam bagian belakang.
Menurut Denny, dan juga data benda cagar budaya, fragmen meriam itu ditemukan di Dusun Jambon, Bawuran, Plered, Bantul.
Dusun ini terletak di timur Kali Opak, atau sebelah timur komplek situs Keraton Plered yang berpusat di sekitar pasar dan Museum Plered yang sekarang.
Fragmen itu sesuai data Balai Cagar Budaya, berukuran panjang 55 cm, lebar 29 cm, dan tebalnya 16 cm.
Dilihat dari ciri-ciri bagian permukaan maupun dalam yang menunjukkan ujung dalam bagian laras, fragmen itu berasal dari bagian sekitar ruang mesiu.
Bagian itu kemungkinan pecah ketika meriam itu meledak dan berkeping-keping ketika digunakan.
Diduga kuat ada tiga atau empat bagian besar fragmen pecahan meriam.
Sayang, selain fragmen yang dipajang di Museum Kerta, tidak ada temuan lain.
Laras bagian ujung kemungkinan besar masih utuh, terlempar di radius yang cukup jauh dari posisi ledakan.
Dilihat dari lengkungan laras di fragmen yang tersisa, meriam ini termasuk kaliber menengah atau besar.
Ada dua ciri lain yang masih bisa dilihat di fragmen ini.
Yaitu bagian ujung dari motif sulur yang dicetakkan di permukaan besi cor.
Satu lagi, galur embos persegi empat yang belum diketahui peruntukannya.
Selain itu tidak ditemukan ciri lain. Bobot fragmen ini sekitar 50 sampai 75 kilogram.
Perihal asal usul meriam dan zaman siapa dibuat, peluang besar ada di era Sultan Agung yang politiknya sangat ekspansif.
Hampir tiap tahun di masa raja legendaris Mataram Islam itu terjadi peperangan.
Sultan Agung pula penguasa yang berani menantang VOC, mengirim bala tentaranya ke Batavia.
Pasukan Mataram memiliki persenjataan yang hebat kala itu, termasuk aneka meriam kecil hingga berukuran jumbo.
Buku Dr HJ De Graaf (Runtuhnya Istana Mataram, 1987), menyebut, ketika Amangkurat I di ambang keruntuhan, militernya masih memiliki 10 meriam besar dan 20 ribu prajurit di Plered.
Dengan kekuatan sebesar itu, keruntuhannya seharusnya tidak terjadi ketika pasukan Trunojoyo menyerbu.
Namun, Plered akhirnya runtuh karena konflik internal yang mematikan.
Pertempuran ketika Trunojoyo dan Raden Kajoran menggempur Mataram terjadi di sejumlah front.
Hampir semuanya menggunakan artileri meriam kecil, sedang, maupun besar.
Ini menunjukkan era Amangkurat I, arsenal Mataram tergolong top.
Berbeda dengan ayahnya yang ekspansif, raja penyendiri ini kemungkinan besar mewarisi senjata masa Sultan Agung.
Termasuk meriam berukuran sedang yang diberi nama Nyai Setomi. Saat ini meriam Nyai Setomi jadi barang pusaka di Kasunanan Surakarta.
Ketika Trunojoyo menggempur Plered, senjata penghancur buatan Portugis yang diperoleh Sultan Agung, meriam ini tak ikut dirampas karena berat.
Setelah Amangkurat II naik tahta dan mendirikan kekuasaan di Kartasura, meriam ini ikut dibawa.
Ketika Kartasura hancur, dan keraton pindah ke Sala, Nyai Setomi pun ikut diboyong.
Meriam dahsyat yang juga muncul di masa Sultan Agung tentu saja Kyai Pancawura atau meriam Kyai Sapujagat.
Meriam ini sekarang ada di depan Pagelaran Kasunanan Surakarta.
Ukurannya sangat jumbo, meski belum bisa mengalahkan meriam "Anak Makassar" di benteng Somba Opu.
Meriam Kyai Pancawura ini lebih besar dari meriam Kyai Amuk yang dibuat dengan cara cor di Demak pada 1527/1528.
De Graaf mencatat, Pancawura atau yang juga dikenal dengan nama Kyai Guntur Geni ini dibuat pada 1623, berdasarkan sengkalan di akronim Pancawura (Pandita Catur Wuruk ing Ratu).
Konon meriam raksasa ini tidak dilengkapi proyektil, dan dinyalakan hanya sebagai kekuatan penggentar atau alat memobilisasi massa sejak 1625 di Keraton Kerto.
Bahan meriamnya kurang kuat dan sistem pengecorannya pun jelek, sehingga jika diisi proyektil justru bisa membahayakan.
Kembali ke fragmen meriam di Plered, deretan pendek tulisan aksara Jawa di permukaan sangat menantang dipecahkan.
Siapa tahu, tulisan itu akan menguak misteri Mataram beratus tahun lalu. Anda kah orang yang bisa menguak misteri ini? (xna/TRIBUNJOGJA.COM)