Pungli di Loket Tiket Kapal Pelni Balikpapan
Umumnya calon penumpang yang disasar adalah mereka yang takut kehabisan tiket sehingga tidak peduli berapapun harganya, yang penting bisa berangkat.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BALIKPAPAN -- Meski pemerintahan Presiden Joko Widodo menggencarkan pemberantasan korupsi dan tindak pidana lainnya seperti suap dan pungutan liar (Pungli), namun aksi itu tak membuat orang merasa takut, malahan korupsi, pungli dan suap makin merajalela.
Di pelabuhan Semayang Kota Balikpapan, dugaan pungli mulai tercium. Tiket penumpang kapal Pelni, kini ditambah pungutan lain yang tak jelas arahnya.
Sejumlah penumpang dengan berbagai tujuan, terutama ke Indonesia bagian timur dan selatan, menjadi sasaran empuk oknum di bagian loket penjualan tiket resmi.
Umumnya calon penumpang yang disasar adalah mereka yang takut kehabisan tiket sehingga tidak peduli berapapun harganya, yang penting bisa berangkat.
Sasaran lain adalah calon penumpang yang terburu-buru hendak naik kapal. Dan yang paling empuk adalah ibu-ibu yang membawa barang sambil mengawasi anak kecil. Mereka ini karena harus membagi perhatian akhirnya tidak meneliti tiket yang dibelinya. Namun dugaan praktik pungli ini pelan-pelan muali terkuak.
Seperti yang dituturkan Nia, seorang warga yang membeli tiket kapal laut KM Lambelu tujuan Larantuka di Flores Timur NTT, beberapa waktu lalu. Dia mengatakan, harga yang tertera dalam tiket Rp 405.000.
"Saya membeli dua tiket untuk kedua orangtuaku yang pulang kampung. Saya membayar Rp 810.000.
Namun saya diminta lagi untuk membayar Rp 30.000," ujar mahasiswa Universitas Balikpapan ini.
Saat itu yang melayani di loket adalah seorang ibu yang kemudian meninggalkan loket dengan alasan hendak mengikuti rapat. Datanglah seorang pegawai lain menggantikan petugas loket sebelumnya.
"Saya tanya, ibu uang yang Rp 30.000 ini untuk apa? Dia menjawab tidak tahu. Tadi kan mba berurusan dengan petugas sebelumnya, jadi saya tidak tahu. Saya disuruh print out aja," ujar Nia menirukan petugas loket itu.
Ketika sedang terjadi 'debat' antara pembeli tiket dengan petugas di loket penjualan tiket, datanglah seorang bapak. Entah petugas loket atau calo tiket, tidak diketahui pasti. "Biasanya dibayar segitu mbak, selama ini memang segitu. Sudah biasa," ujarnya.
Tiba-tiba bapak itu bertanya kepada Nia, "Ibu istrinya Pak Pol Air itu ya." Spontan dijawab Nia, "Iya betul."
Bapak itu melanjutkan, "Kalau suami ibu yang beli pasti harganya lain, kenapa nggak suruh suami ibu yang beli pasti dikasih harga lain. "Niapun memastikan besok suaminya akan datang. Merasa tak ada keperluan lagi, Nia berniat pulang. Saat berada di tempat parkir, datanglah bapak yang ada di loket tadi sambil membawa Rp 30.000. "Saya minta maaf, uang ibu kami kembalikan," ujarnya seraya menyodorkan uang.
Lain lagi cerita Kristo yang membeli lima tiket orang dewasa dan dua tiket anak-anak. Dengan kapal yang sama KM Lambelu tujuan Larantuka. Dengan harga tiket Rp 405.000 orang dewasa sehingga Kristo membayar Rp 2.025.000, ditambah pungutan lain Rp 75.000. Sedangkan tiket anak-anak yang seharga Rp 45.000 dikali dua menjadi Rp 90.000. Namun karena ada pungutan lain sehingga dua tiket anak-anak itu dibayar Rp 200.000.
"Saat itu saya mau langsung protes tapi keluarga yang saya antar melarang, sehingga tak jadi protes. Padahal itu jelas-jelas pungli itu," ujar karyawan sebuah perusahaan di Balikpapan ini.
Nia maupun Kristo berharap agar praktik pungli seperti ini secera diberantas. Bayangkan jika penumpang kapal itu mencapai ribuan orang, berapa besar uang yang mereka keruk. "Terutama pada saat hari raya keagamaan, penumpang kapal melonjak hingga 3.000-4.000 orang setiap pekan. Berapa ratus juta yang masuk kantung oknum-oknum itu," tandasnya. (yas)