Cerita Korban Penyanderaan: Tak Boleh Lagi Berkeliaran Mulai Jam 6 Sore, Listrik pun Dimatikan
Selama masa penyanderaan, para korban hampir tiap hari masih bisa berkomunikasi dengan keluarga menggunakan telepon selular (ponsel).
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Beragam kisah dituturkan para korban penyanderaan di Papua yang kini telah kembali ke kampung halamannya di Demak.
Selama masa penyanderaan, para korban hampir tiap hari masih bisa berkomunikasi dengan keluarga menggunakan telepon selular (ponsel).
Hal itu diungkapkan Karen, seorang warga Kedondong, Kecamatan Demak, Jateng, yang menjadi korban penyanderaan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) di Mimika, Papua.
"Tapi, komunikasi hanya siang saja, setelah itu ponsel disembunyikan lagi, di belakang rumah, dikasih masuk plastik, kemudian ditimbun di bawah tumpukan sampah atau ditanam di bawah tanah," katanya kepada Tribun Jateng saat ditemui di rumahnya, Kamis (23/11/2017).
Menurut dia, komunikasi dengan ponsel dilakukan siang, untuk memperkecil risiko ketahuan. Itu pun, harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi di dalam rumah, yang terbuat dari papan kayu dan beratap seng.
"Selama masa penyanderaan, tiap jam enam sore, kita sudah tidak boleh berkeliaran, listrik dan lampu tak boleh dinyalakan. Sehingga, kalau mainan ponsel di malam hari, hampir pasti ketahuan, akan ada sinar di kegelapan. Rumah kan dari papan, gak serapat tembok, ada sinar dikit ketahuan," ucapnya.
Selama penyanderaan selama sekitar satu bulan, para warga tetap dibiarkan bebas beraktivitas.
Namun warga tak diperbolehkan bekerja dan keluar dari tempat penyanderaan yakni Desa Kimbely dan Desa Banti, Mimika.
Baca: Air Mata Deisti Tak Lagi Terbendung Kala Menjenguk Setya Novanto di Tahanan
"Makan kita dari belanja di kios-kios setempat, masih ada stok," ujarnya.
Karen datang ke Papua sejak sekitar tahun 2008. Ia menyusul kakaknya, Sutris, yang telah lama bermukim di sana sejak pascareformasi.
Di Mimika, ia dan juga warga lainnya bekerja sebagai penambang emas.
"Bukan hanya warga pendatang, penambang juga sebagian merupakan warga lokal," tuturnya.
Sbagian penambang dari warga lokal, belakangan diketahui merupakan anggota dari Kelompok Separatis Organisasi Papua Merdeka.
"Dalam keseharian, mereka baik-baik sama para penambang. Mereka (kelompok separatis) bilang: 'Kami punya urusan dengan pemerintah, bukan dengan kalian," cerita Karen.
Seorang warga lainnya, Kasdam, mengatakan sebelum penyanderaan, situasi memanas setelah aparat menyisir sekitar lokasi penambangan.
Saat penyisiran itu, para penambang sudah tidak lagi bekerja.
"Kan takut, kalau ada baku tembak nanti ada peluru nyasar," ucapnya.
Selama masa penyanderaan, pikiran buruk sempat menghampiri. Ia sempat pesimistis bisa kembali ke tengah keluarga dalam waktu dekat.
Selama masa penyanderaan, para anggota KKSB rutin melakukan patroli--sehari tiga sampai empat kali--dengan menenteng senjata.
Ada yang menenteng senjata api laras panjang, sebagian membawa senjata tajam.
"Sempat terbersit pikiran buruk," akunya.
Setelah hampir sebulan mengalami penyanderaan, pada suatu pagi harapan kembali muncul. Sempat terdengar suara baku tembak, kemudian ia melihat banyak aparat sudah berada di atas perbukitan.
"Setelah itu, kita dievakuasi. Selama evakuasi, kita dibawa keluar dari wilayah Kembely dan Banti secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari 10 orang, dan dikawal dua aparat," ujarnya.
Baca: Kasus Korupsi Tender Proyek Terjadi Lagi di Perfektur Chiba Jepang
Proses evakuasi, menurutnya, memang agak sulit. Sebab akses jalan menuju Mimika dirusak menggunakan alat berat oleh para anggota KKSB.
Seorang warga lainnya, Matias menambahkan, selama masa penyanderaan, warga sempat melihat para penyandera mengibarkan bendera Bintang Kejora, di atas bukit.
Lokasi penyanderaan berada di bawah bukit. Sementara, lokasi pengibaran bendera berada di Desa Tukini, yang berada di atas bukit.
"Kita sempat sehari lihat bendera itu berkibar di atas bukit, setelah itu tak tampak lagi," ucapnya.
Dia juga menceritakan soal penambangan di sekitar wilayah penyanderaan. Menurutnya, masing-masing para penambang menyewa lahan kepada para penduduk lokal dengan harga bervariasi.
Menurut dia, harga sewa tergantung dari luas lahan yang ada. Antara Rp 3 juta sampai Rp 10 juta per bulan.
"Kita menambang kan di aliran sungai. Nah lahan itu dilintasi aliran sungai yang ditambang itu. Wilayah yang kita tambang sudah di luar area perusahaan Freeport," ucapnya.
Sudah Tradisi
Kepala Desa Kedondong, Kecamatan Demak, Sistianto, mengakui banyak warga desa yang dipimpinnya merantau ke Papua.
Tradisi merantau ke pulau di ujung timur Indonesia ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.
Baca: Kisah Anak Pendeta Memeluk Islam, Niatnya Sempat Tertunda karena Dikejar-kejar Sang Ayah
"Banyak yang merantau ke sana, sudah lama, berlangsung sejak puluhan tahun lalu," kata Sistianto, kepada Tribun Jateng, Kamis (23/11/2017).
Warga yang merantau di Papua tak semuanya bermukim di sana dalam jangka waktu yang lama. Sebagian di antaranya, ke Papua hanya saat di desa sedang tak musim tanam, dan tak ada pekerjaan lain yang bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan.
Sehingga, ketika sudah dirasa mendapat penghasilan yang cukup, sebagian dari mereka memilih untuk pulang kampung.
Sementara sebagian lainnya memilih tinggal di sana, dan penghasilan yang ada dikirimkan ke keluarga.
"Rombongan kemarin ke sana karena di desa sedang kemarau. Sebagian kalau sudah cukup dapat uangnya ya pulang, sebagian lagi ya ada yang masih di sana, uang untuk keluarga ditransfer," ucapnya.
Menurut dia, mayoritas warga di sana bekerja mendulang emas secara manual. Dikatakan, pada sekitar bulan Desember - Januari, usaha penambangan emas secara tradisional sedang bagus.
"Desember - Januari ramai menambang emas, karena Freeport sedang buang limbah," katanya.
Baca: Kisah Slamet Dikejar Pelaku Penyanderaan hingga Sembunyi di Tempat Pembuangan Kotoran
Lantaran saat ini sedang musim tanam, maka warga yang pulang usai insiden penyanderaan akan kembali terjun ke sawah. Terlebih saat ini musim tanam sudah dimulai.
"Habis ini ya ke sawah lagi, bercocok tanam, kan sudah mulai musim tanam," imbuhnya.
Setiap berangkat ke Papua maupun sepulang dari sana, warga terbiasa berombongan. Di sana warga juga tinggal secara berkelompok.
"Ada yang dituakan, semacam mandor yang mengkoordinir warta dari sini," ungkapnya. (tribunjateng/cetak/lipsus)