AJI Dan IJTI Kecam Intimidasi Polisi pada Dua Wartawan Bali Saat Meliput Penggerebekan
Keduanya mendapat tindakan intimidasi dari anggota kepolisian berupa pelarangan dan penghapusan foto dari kamera.
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali mengecam tindakan intimidasi anggota kepolisian yang menghalangi Jurnalis dalam melakukan kegiatan peliputan.
Pelarangan dan intimidasi ini dialami dua jurnalis , yaitu Wayan Sukarda (Reuters TV) dan fotografer Miftahuddin Mustofa Halim (Radar Bali) pada hari Kamis (11/1/2017).
Hal tersebut berlangsung saat kedua jurnalis tersebut meliput pengerebekan rumah atau tempat sejumlah warga negara asing yang diduga sindikat pelaku kejahatan di Jalan Darmawangsa, Desa Kutuh, Kuta Selatan.
Keduanya mendapat tindakan intimidasi dari anggota kepolisian berupa pelarangan dan penghapusan foto dari kamera.
"Padahal, jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik sudah sesuai prosedur dan mendapatkan informasi juga dari korps Kepolisian Bali, "kata Ketua AJI Kota Denpasar, Hari Puspita.
Berdasarkan rilis yang diterima Tribun Bali, kronologi kejadian tersebut berawal ketika Kepala Urusan Kemitraan Subbidpenmas Bidang Humas Polda Bali, Kompol Ismi Rahayu menyampaikan informasi kepada jurnalis tentang rencana penggerebekan di empat lokasi.
Baca: Pengalaman Debut Aktor Korea Selatan Makan Salak Bali
Di empat lokasi tersebut dikabarkan ditempati ratusan warga negara Tiongkok yang diduga melakukan tindak kejahatan.
Berdasar informasi tersebut, Miftahuddin M. Halim, jurnalis foto koran Radar Bali melakukan kegiatan peliputan ke tempat kejadian perkara (TKP) 1 di Jalan Tukad Badung No. 22.
Namun, setelah ditunggu cukup lama, tidak ada tanda-tanda aparat kepolisian melakukan penggerebekan di lokasi 1 sebagaimana diinformasikan.
Kemudian, datang jurnalis Kompas, Cokorda Yudistira di lokasi tersebut.
Karena cukup lama menunggu tak juga ada kejelasan, maka Cok dan Miftah memutuskan menuju Lokasi 4 di Desa Kutuh, Kuta Selatan.
Belakangan, ketika Miftah dan Cok sudah berangkat menuju TKP 4 di Jalan Darmawangsa Gang SDN 2 Kutuh No. 1X, baru muncul informasi bahwa Lokasi 1 yang disebutkan Ismi kurang lengkap, yang benar adalah Jalan Tukad Badung XXI Nomor 22.
Baca: Ini Kronologi Penggerebekan Gudang Tabung Gas Oplosan di Tangerang
Ketika sudah tiba di TKP 4, ternyata sudah banyak anggota kepolisian yang berjaga di luar pagar sebuah rumah.
Sebagian anggota kepolisian lainnya berada di dalam rumah yang dihuni puluhan warga negara Tiongkok.
Ketika baru tiba, Miftah juga ditanya dari mana oleh anggota kepolisian, Miftah menunjukkan kartu identitas pers (ID Pers).
Sebagai jurnalis, maka Miftahuddin melakukan pengambilan gambar foto (memotret) suasana penggerebekan dari luar rumah menggunakan kamera smarthphone.
Seketika itu, dua anggota kepolisian mendatangi Miftahuddin, dan salah satu anggota tersebut meminta agar Miftahuddin tidak memfoto.
Anggota polisi ini juga meminta Miftahuddin menghapus foto suasana penggerebekan tersebut.
Belum sempat Miftahuddin menghapus, anggota polisi ini mengambil smartphone tersebut lalu menghapus sendiri foto-foto tersebut.
Hal ini juga dialami oleh jurnalis Reuters, Wayan Sukarda yang kebetulan tinggal tidak jauh dari lokasi atau TKP 4.
Dia mendapat larangan merekam atau mengambil gambar video suasana penggerebekan.
Bahkan, rekaman video suasana penggerebekan miliknya juga dihapus oleh anggota kepolisian.
Larangan peliputan juga terus dilakukan oleh anggota kepolisian yang menenteng senapan laras panjang ketika puluhan warga negara Tiongkok yang menghuni rumah itu digiring ke jalan untuk memasuki bus.
Bahkan, ketika para terduga sudah memasuki bus, masih ada larangan terhadap tiga jurnalis yang merekam video dan memfoto peristiwa tersebut.
Aksi sepihak ini merupakan pelanggaran pasal 18 ayat (1) UU No 40 tahun 1999 tentang pers, yang berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Sementara Pasal 4 ayat 3 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Di bagian lain, pada Pasal 8 UU Pers disebutkan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum, " tegas Hari.
Untuk itu, AJI Denpasar dan IJTI Bali menyampaikan hal-hal berikut:
1. Tindakan menghalangi peliputan pada hari Kamis, 11 Januari 2018 di Desa Kutuh, Kuta Selatan ini merupakan kesombongan aparat yang tidak layak dilakukan di era keterbukaan informasi yang sudah sesuai dengan undang-undang.
2. AJI Kota Denpasar dan IJTI Bali mengecam perlakuan polisi yang telah menghambat jurnalis mencari dan meliput berita dan lebih jauh, tindakan ini mengancam kemerdekaan pers.
3. Tindakan menghalangi peliputan ini adalah melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yakni menghalang-halangi dan menghambat pekerjaan jurnalis bisa dikenai pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
4. Meminta kepolisian untuk menghormati kerja jurnalistik wartawan dan memahami UU Pers.
AJI dan IJTI juga mengimbau kawan-kawan jurnalis untuk menjalankan tugas jurnalistik secara profesional, mematuhi rambu-rambu UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. (*)