Pedagang Keluhkan Maraknya Beras Oplosan
hampir semua pedagang di berbagai pasar tradisional sudah memahami permainan beras oplosan ini
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Medan, Jefri Susetio
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Kenaikan harga beras di sejumlah pasar tradisional diduga dimanfaatkan distributor untuk meraup keuntungan. Modusnya, mereka kerja sama dengan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk melakukan operasi pasar namun dioplos. Alhasil, pedagang kewalahan menerima komplain dari pelanggan.
Seorang pedagang di Pasar Seikambing, Medan, Ifa mengatakan, tidak sedikit pedagang yang membeli beras ramos maupun IR-64 mengeluhkan beras yang dibeli tak se-enak biasanya. Padahal, pelanggan kerap mengonsumsi beras tersebut.
“Beras Bulog habis saja karena dicampur oleh distributor, caranya mereka ganti karung beras Bulog pakai merek lain. Tidak gampang membedakan sangat sulit, tapi biasanya rasanya berbeda,” ujarnya saat berbincang kepada Tribun Medan/Tribun-Medan.com, beberapa hari lalu.
Ia menjelaskan, maraknya beras oplosan saat adanya lonjakan harga pada Desember hingga Februari. Ketika itu, harga beras premium sempat bertengger Rp 14 ribu perkilogram. Karena itu, Bulog gandeng distributor untuk menurunkan harga.
Meskipun telah dilakukan operasi pasar namun harga beras tak kunjung turun rupanya banyak distributor yang culas. Informasi yang diperoleh Ifa, tidak jarang distributor ganti karung beras Bulog ukuran 15 kilogram. Lalu, dikemas dalam karung 20 kilogram ataupun 47 kilogram.
Selain itu, demi mengurangi keluhan dari pelanggan yang marah karena buruknya kualitas beras, ia meminta distributor ganti beras. Karena itu, ia mengharapkan Pemerintah mengambil tindakan kepada distributor yang nakal.
“Kalau beras oplosan itu, rasanya kaya nasi basi, jadi saya jelaskan kepala pelanggan, kalau tak enak pasti dicampur. Hampir semua merek ada pengoplosan beras. Tapi, perwakilan distributor enggak mau bicara. Hanya memenuhi keinginan mengganti beras saja,” katanya.
Dia menyatakan, keluhan masyarakat berkurang seiring mulai stabilnya harga beras karena musim panen. Jika masih ada distributor yang mengoplos beras Bulog tidak lagi dalam jumlah besar karena stok beras dari petani cukup banyak.
“Kalau hati-hati pun bagaimana ? Saya mana bisa bongkar terlebih dahulu karung berasnya. Mosok sebelum masuk saya bongkar ada 100 goni. Tapi begitu masyarakat beli protes, sehingga saya telepon distributornya. Saya minta ganti. Sepekan sekali saya ganti beras,” ujarnya.
Ia tidak menjual beras impor Bulog lantaran minat masyarakat untuk membeli tidak banyak alias minim. Walaupun harga beras Bulog sangat murah dibandingkan harga beras lokal jenis medium maupun premium. Pada umumnya, masyarakat keluhkan buruknya kualitas beras dari Bulog.
“ Tidak ada yang mau beli beras Bulog karena jelek, tidak layak makan, berdebu, ada kericil jadi warga tetap cari beras yang Rp 10 ribu. Bahkan, di atas Rp 10 ribu, terkadang mereka beli beras premium Rp 12 ribu. Jadi, saya enggak pernah jual beras Bulog,” katanya.
Sedangkan, pedagang lainnya, Robi, menambahkan, bila distributor jujur alias tidak mengoplos beras Bulog maka protes dari pelanggan tidak ada. Karena itu, pedagang protes kepada distributor sekaligus meminta beras diganti bila pelanggan mengeluhkan buruknya kualitas beras.
“Kalau tidak ada permainan oleh distributor enggak ada protes dari pelanggan. Kalau ada komplain pelanggan, kami pasti protes ke atas. Kemudian, meminta barang ditarik karena mau jaga langganan biasanya mereka tarik barangnya,” ujarnya.
Menurutnya, bukan rahasia umum banyak distributor mencampur beras Bulog dengan beras lokal. Bahkan, hampir semua pedagang di berbagai pasar tradisional sudah memahami permainannya. Namun, hingga sekarang belum ada Satgas Pangan menangkap.
Tidak hanya itu, banyak pedagang ogah menjual beras Bulog karena minim peminat, dan kualitas beras tidak layak untuk dikonsumsi.
Lebih lanjut, pelanggan yang beli beras Bulog merupakan dari kalangan kelas menengah ke bawah maupun pedagang nasi goreng.
Kepala Perusahaan Umum (Perum), Badan Urusan Logistik, (Bulog), Sumut, Benhur Ngkaimi, mengatakan, rutin melakukan operasi pasar walaupun operasi pasar bukan satu-satunya cara untuk mengendalikan harga.
Baca: Daging Diduga Oplosan Beredar di Pasar Tradisional di Kota Medan
"Operasi pasar bukan satu-satunya cara. Seharusnya interpensi pasar tidak boleh besar karena Bulog bukan pelaku utamanya. Idealnya 80 persen atau 90 persen pasokan beras dari petani atau sentral produksi," ujarnya.
Menurutnya, dalam menjalankan operasi pasar tidak harus Bulog yang terjun ke lapangan. Oleh sebab itu, ia memberikan kesempatan kepada pedagang alias berdayakan pedagang supaya melakukan operasi pasar.
Ia berpendapat, Bulog tak bisa membatasi distributor ataupun pedagang yang ingin membeli beras. Semakin banyak distributor, lanjutnya, jangkauan penyebaran beras Bulog makin luas. Meskipun demikian, dia tak merinci identitas destributor.
"Ada 14 ribu ton disalurkan melalui distributor. Jumlah distributornya di atas 20 dan belum lagi pedagang kecil yang diberikan. Pedagang kecil itu minta beras jadi kami antar. Seluruh Sumut ada 80 pedagang kecil," katanya.