Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Lansia Miskin Menyekolahkan Anaknya yang Down Syndrome, Tiap Hari Ngonthel Belasan Kilometer

Bocah berumur 13 tahun itu duduk diapit keduanya. Hernowo, Kamilah, dan Wahyu sedang dalam perjalanan menuju ke Sekolah Luar Biasa (SLB)

Editor: Sugiyarto
zoom-in Kisah Lansia Miskin Menyekolahkan Anaknya yang Down Syndrome, Tiap Hari Ngonthel Belasan Kilometer
(KOMPAS.com/Dani J)
Hernowo mengendalikan kemudi sepeda, Kamilah mendorongnya, saat mendaki bukit. Wahyu tetap duduk di boncengan. Seperti inilah setiap hari Hernowo membawa Wahyu sekolah yang jauhnya belasan kilometer. Hernowo yang setengah tuli sejak lahir tidak menyerah menyekolahkan anaknya yang down syndrome. Di usia senja mereka, ia mengharapkan Wahyu bisa cepat mandiri. 

Mereka keluar pagi sekali pukul 06.30 WIB dari rumahnya di Dusun Anjir, bersepeda, dan seperti biasa, Wahyu mesti masuk kelas sebelum pukul 08.00 WIB.

Ia akan bergabung dengan lima temannya di kelas 5C di SLB itu sampai lewat tengah hari.

Semua siswa di kelas ini adalah penderita down syndrome (DS) atau keterbelakangan mental.

Dari rumah di sebuah bukit di Kulon Progo, mengayuh sepeda hingga ke SLB dilakoni Hernowo dan Kamilah agar Wahyu bisa sekolah hari Senin-Jumat. SLB di Desa Gotakan, Panjatan, itu sebenarnya hanya 11-an kilometer dari Anjir.

Meski jarak tak jauh, Hernowo mengayuh sepeda hampir 60 menit dengan sepeda ontel.

Perjalanan selama itu karena kontur jalan dan keramaian kota yang dilewati. Wahyu adalah anak semata wayang dari Hernowo dan Kamilah.

Warga mengenalnya sebagai pasangan suami istri penjual kayu bakar. Hernowo biasa mencari dan memotong kayu, Kamilah mengikatnya setelah mengeringkan dengan cara diangin-angin. Kayu itu dijual Rp 6.000 per ikat pada seorang pengepul.

Berita Rekomendasi

Penghasilan dari kayu ini minim. Kayu belum tentu terjual tiap minggu. Mereka masih beruntung dapat Rp 100.000 setiap bulan dari kebun berisi 13 pohon kelapa di pekarangan belakang rumah. Ada saja orang yang menebas (membeli) kelapa langsung di pohon.

Kambing peliharaan juga bisa jadi andalan ketika beranak. Anak kambing harganya lumayan, sekitar Rp 700.000 ketika dijual.

“Kayu untilan (ikat) ditumpuk di depan. Belum tentu terjual sesasi (tiap minggu). Tambahan dari jual daun pisang dan daun pepaya, sesasi gangsal welas ewu (seminggu Rp 15.000), dikasih ke Desa Gunung Pentul,” kata Kamilah.

Mereka mengakui tidak bekerja lebih baik dari pada hari ini. Keduanya hanya mengenyam pendidikan sampai SD, tanpa keterampilan memadai.

Kamilah pernah jadi kuli batu, Hernowo pernah jadi tukang cuci piring di warung makan.

Setelah memiliki anak, Hernowo masih sulit mendapatkan pekerjaan yang cukup layak lantaran fungsi pendengarannya kurang baik. Orang harus bersuara sangat nyaring bila ingin komunikasi dengannya.

“Sebelum Wahyu sekolah, bapak kerja di warung asah-asah (mencuci piring). Upah Rp 20.000 sehari,” kata Kamilah.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas