Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Lansia Miskin Menyekolahkan Anaknya yang Down Syndrome, Tiap Hari Ngonthel Belasan Kilometer

Bocah berumur 13 tahun itu duduk diapit keduanya. Hernowo, Kamilah, dan Wahyu sedang dalam perjalanan menuju ke Sekolah Luar Biasa (SLB)

Editor: Sugiyarto
zoom-in Kisah Lansia Miskin Menyekolahkan Anaknya yang Down Syndrome, Tiap Hari Ngonthel Belasan Kilometer
(KOMPAS.com/Dani J)
Hernowo mengendalikan kemudi sepeda, Kamilah mendorongnya, saat mendaki bukit. Wahyu tetap duduk di boncengan. Seperti inilah setiap hari Hernowo membawa Wahyu sekolah yang jauhnya belasan kilometer. Hernowo yang setengah tuli sejak lahir tidak menyerah menyekolahkan anaknya yang down syndrome. Di usia senja mereka, ia mengharapkan Wahyu bisa cepat mandiri. 

Mereka tetap mensyukuri kehidupan ini. Soal makan, semua sudah disediakan alam. Sayur dan buah, kelapa tua untuk santan, dan beberapa rempah tersedia di halaman rumah.

Pepaya, pohon pisang, dan singkong bisa jadi selingan. Setidaknya mereka jadi bisa beli beras, telur, mi instan.

“Wahyu suka sekali endog (telur). Kami bisa ambil jantung pisang untuk bikin jangan (sayur),” katanya.

Semua dijalani di sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan kayu. Lantainya masih tanah, dan kayu penyangga rumah masih baru.

Tidak ada sofa empuk, tidak ada kipas angin dan televisi. Hanya ada penerangan, itupun minim. Semua barang di dalam rumah merupakan harta turunan dari kakek buyut Hernowo.

Ruang utama rumah jadi satu semuanya di ruang depan, baik untuk tamu hingga tidur. Halaman rumah mereka luas, bersih, bahkan tebing di kanan kirinya nyaris tanpa rumput dan lumut.

Pohon-pohon pepaya tumbuh tinggi di depan rumah. Ini berkat Kamilah yang rajin bersih-bersih dan merawat halaman.

Berita Rekomendasi

“Kalau bapak ini mencari rumput untuk kambing sampai jauh ke Glagah (10-an kilometer). Dia maunya nyari rumput tok,” katanya.

Rumah tinggal Hernowo berada di balik hutan mungil yang berasa mistis dan tanpa jalan masuk memadai ke dalamnya.

Tempat tinggal mereka di antara tebing tempat banyak pohon bambu tumbuh di sekelilingnya. Yakni jati, nangka, dan akasia.  Gemericik air sungai terdengar sampai rumah.

Bila berangkat sekolah, ketiganya harus melewati hutan mini ini. Jalan berbatu dan tanah gembur membuat mereka tidak mungkin menaiki sepeda di dalam hutan mini ini. Mereka menuntun sepeda hingga jalan raya paling atas.

Dari situ, mereka mulai menaiki sepeda dan melaju sampai ketemu jalan datar.

Tapi sesekali, ketika tanjakan, Hernowo dan Kamilah terpaksa mendorong sepeda.

Ketika jalan menurun landai ataupun datar, mereka menaikinya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas