Konglomerasi Media Mengancam Kebebasan Pers
Dewan Pers berhasil menuntaskan penyusunan Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2017 yang menggambarkan situasi pers Indonesia sepanjang 2017
Editor: Content Writer
Dewan Pers berhasil menuntaskan penyusunan Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2017 yang menggambarkan situasi pers Indonesia sepanjang tahun 2017. Riset berdasarkan survei persepsi yang digelar di 30 provinsi. Hasil IKP 2017 ini menggambarkan rekaman situasi pers sepanjang tahun 2016. Pada riset sebelumnya, penelitian dilakukan pada 24 provinsi.
Secara kumulatif, survei IKP 2017 menggambarkan kemerdekaan pers Indonesia dalam posisi ‘agak bebas’. Indeksnya sebesar 68,95. Kondisi ini lebih baik dibandingkan survei IKP 2016 yang mencapai 63,44 atau mengindikasikan kemerdekaan pers Indonesia “mendekati bebas”.
Namun jika dilihat secara detil, kemerdekaan pers Indonesia sepanjang 2016 mengalami defisit pada hal kebebasan-untuk (freedom for), sedangkan aspek-aspek terkait kebebasan dari (freedom from) seperti kebebasan berorganisasi, mendirikan perusahaan, kebebasan jurnalisme – mencari, mengolah dan menyebarkan informasi, keragaman kepemilikan, kebebasan wartawan dari kriminalisasi, intimidasi, serta kekerasan berada dalam dalam kondisi baik.
Hal yang mengkhawatirkan adalah independensi ruang redaksi, kesejahteraan wartawan, dan akses media bagi kelompok masyarakat rentan.
Sejumlah kasus kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan menjadi catatan ahli pada indikator ini. Termasuk di dalamnya kasus impunitas atas pembunuhan sejumlah jurnalis yang belum juga tuntas. Hal ini mempengaruhi penilaian informan ahli atas jaminan hukum untuk bebas dari kriminalisasi dan intimidasi.
Terkait konglomerasi media, survei ini memperlihatkan adanya ancaman terhadap independensi ruang redaksi. Informan ahli menilai media hanya dijadikan sebagai alat kepentingan ekonomi dan politik dari pemilik media yang sebagian besar adalah pengusaha dengan afilisasi politik atau kepentingan ekonomi tertentu.
Menurut survei, kategori ini mendapatkan indeks nasional 62 atau berarti ‘kurang bebas’, sedikit di atas ‘buruk’. Di Provinsi Jawa Barat indeksnya 55.
Kebebasan ruang redaksi juga dipengaruhi oleh ketergantungan pada iklan dan program publikasi dari pemerintah daerah setempat, terutama media-media yang berada di luar pulau Jawa. Di beberapa provinsi, ada wartawan yang juga berperan sebagai marketing dengan tugas mencari iklan buat medianya.
Catatan lain dari survei ini adalah ketidakmampuan pers menyuarakan kaum yang tidak bisa bersuara (voice for the voiceless). Tidak semua kelompok masyarakat memiliki akses pada media untuk didengar suaranya dan mendapat informasi dengan akurat. Masalah perempuan, miskin kota, minoritas dan penyandang disabilitas adalah sebagian dari kelompok masyarakat yang suaranya sering diabaikan oleh pers.
Pada berbagai pekara yang dihadapi perempuan media cenderung memberi stigma pada kaum perempuan. Berbagai isu krusial seperti intoleransi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, dikriminasi terhadap masyarakat adat yang perlu diketahui oleh publik tidak menjadi wacana di media. Kalaupun diangkat tidak semua perspektif ditemukan dalam media-media arus utama.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan media yang mengakibatkan terjadinya perekrutan wartawan dalam jumlah besar. Umumnya perekrutan ini terbuka bagi semua pelamar dengan beragam latar belakang akademis. Sayangnya, perekrutan tidak diikuti dengan ketersediaan sumber daya siap pakai. Kebanyakan dari mereka tidak pernah mengikuti pendidikan dan memahami etika jurnalistik.
Dampaknya, banyak di antara mereka yang memilih bekerja dengan jalan pintas, seperti mengumpulkan bahan-bahan dari publikasi media lain atau cloning, serta memanfaatkan sumber informasi dari media sosial.
Catatan penting lain adalah sikap toleran dari wartawan terkait suap atau amplop. Masalah etik ini secara langsung atau tidak, turut didukung oleh pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai bentuk. Secara umum perusahaan media di daerah masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber dana dari anggaran pemerintah daerah dan bentuk-bentuk kerjasama yang saling-menguntungkan hingga membuat media atau perusahaan media berkurang independensinya.
Selama ini kemerdekaan pers di Indonesia selalu dinilai secara dikotomis, antara “sudah baik” atau dianggap “sudah kebablasan”. Pendekatan demikian sudah tidak tepat. Ada beberapa aspek kemerdekaan pers yang sudah terjaga baik, mengarah baik dan ada pula yang masih buruk. Sebaiknya sembari mempertahankan yang sudah baik komunitas media, pemerintah dan stakeholder pers lainnya berfokus pada aspek-aspek yang masih perlu diperbaiki kualitasnya.
Dalam waktu dekat Laporan IKP 2017 akan diluncurkan dalam tiga buku. Buku pertama merupakan tinjauan nasional. Buku ke dua merupakan gambaran detil terkait 30 provinsi yang disurvei, Sedangkan buku ke tiga berisi lampiran-lampiran penting terkait data dan informasi survei secara keseluruhan. (*)