Pemakaman Siswi SMP yang Gantung Diri Diwarnai Isak Tangis Keluarga dan Para Sahabat
Beberapa kerabat dan teman korban yang datang ke prosesi pemakaman tak kuasa menahan tangis saat melihat jenazah EPA dimasukkan ke liang lahat.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, BLITAR - Suasana haru mengiringi proses pemakaman jenazah EPA, remaja 16 tahun yang ditemukan tewas gantung diri di kamar kos di pemakaman Tionghoa, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jumat (1/6/2018).
Beberapa kerabat dan teman korban yang datang ke prosesi pemakaman tak kuasa menahan tangis saat melihat jenazah EPA dimasukkan ke liang lahat.
Jenazah EPA ditaruh dalam peti warna putih.
Peti warna putih itu sesuai permintaan EPA yang ditulis di salah satu surat wasiatnya sebelum mengakhiri hidup dengan cara gantung diri.
Dalam surat itu, EPA meminta dibelikan peti warna putih.
Dari tempat persemayaman di Wisma Paramita, Kota Blitar, jenazah EPA dibawa menggunakan mobil ke lokasi pemakaman di Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.
Baca: Mantan Pengacara Setya Novanto Terdiam Dituntut 12 Tahun Penjara
Jenazah tiba di lokasi pemakaman sekitar pukul 09.00 WIB.
Begitu tiba di lokasi, jenazah EPA yang sudah dimasukkan di dalam peti diletakkan di dekat liang lahat.
Ayah, ibu, kakak, kerabat, dan teman-teman EPA berdiri mengelilingi peti berisi jenazah EPA.
Sebelum jenazah dimasukkan ke liang lahat, ada prosesi pembacaan doa terlebih dulu.
Sekitar pukul 11.00 WIB, peti berisi jenazah EPA baru dimasukkan ke liang lahat.
Saat jenazah EPA dimasukkan ke liang lahat, suasana semakin haru.
Ayah, ibu, dan kakak EPA tidak kuasa menahan tangis. Derai air matapun mengalir deras.
Baca: Dibunuh Pendeta Henderson, Jenazah Rosalia akan Disemayamkan di Rumah Opungnya
Sejumlah kerabat dan teman EPA juga tidak dapat membendung tangis.
Mereka merasa kehilangan remaja yang dikenal pandai dan supel bergaul itu.
Selesai jenazah dimakamkan, keluarga dan teman-teman EPA menaruh karangan bunga di atasnya.
Keluarga dan teman EPA juga terlihat mengambil foto terakhir di tempat pemakaman EPA.
Ibu EPA, Endang Susiani, sempat memberikan komentar kepada media usai proses pemakaman anaknya.
Pertama, dia berdoa agar anak bungsunya itu masuk surga.
Lalu, dia menyinggung soal sistem zonasi dalam penerimaan peserta Didik baru di tingkat SMA.
Dia meminta pemerintah mengkaji ulang sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru tingkat SMA.
Baca: Perempuan 20 Tahun Tewas Diduga Minum Pil Aborsi, Sang Pacar Minta Perlindungan Polisi
Sebab, kabar yang beredar di teman-teman sekolah, EPA nekat bunuh diri karena khawatir tidak bisa masuk di salah satu SMA favorit di Kota Blitar yang diidamkannya.
Endang mengakui EPA pernah mengeluh kepadanya soal sistem penerimaan peserta didik baru di tingkat SMA.
EPA khawatir peluangnya diterima di salah satu SMA favorit di Kota Blitar kecil karena terbentur sistem zonasi.
"Sebelumnya dia sempat mengeluh soal itu ke saya. Dia juga pesimis tidak bisa masuk sekolah favorit seperti kakak-kakaknya. Untuk itu, saya minta pemerintah untuk mengkaji ulang sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru di SMA," kata Endang.
Sebelumnya, EPA, ditemukan meninggal gantung diri di kamar kos, Jl A Yani, Kota Blitar, Selasa (29/5/2018).
Diduga motif yang mendorong remaja 16 tahun yang baru lulus dari SMPN 1 Kota Blitar ini bunuh diri karena khawatir gagal masuk SMA favorit di Kota Blitar karena terbentur masalah zonasi.
Sistem zonasi ini memprioritaskan siswa dari dalam kota. Sedangkan siswa dari luar kota hanya diberi kuota sekitar 10 persen.
Sedangkan, EPA sendiri meski sekolah di SMPN 1 Kota Blitar, domisili di kartu keluarga ikut orang tuanya yang tinggal di Srengat, Kabupaten Blitar.
Baca: Lima Titik Api Skala Kecil Tersebar di Lereng Merapi
EPA sebenarnya dikenal sebagai anak yang pandai di SMPN 1 Kota Blitar.
Dia sering mewakili sekolah ikut olimpiade.
Nilai ujian nasional EPA juga tinggi yakni 359,0 atau nilai rata-ratanya hampir 90.
Teman sekolah EPA juga ramai membicarakan penyebab korban bunuh diri karena khawatir tidak bisa masuk di salah satu SMA favorit di Kota Blitar karena terbentur sistem zonasi.
Seperti dikatakan Wulan, siswa satu kelas EPA di SMPN 1 Kota Blitar. Menurutnya, EPA memang ingin melanjutkan di SMAN 1 Kota Blitar.
Tetapi, dengan sistem zonasi, dia khawatir peluang masuk di SMAN 1 Kota Blitar kecil. Sistem zonasi ini memprioritaskan siswa domisili Kota Blitar.
Kuota siswa luar kota hanya 10 persen. Sedangkan EPA, domisilinya di Srengat, Kabupaten Blitar.
"Saingannya berat, karena anak-anak kabupaten nilai ujian nasionalnya juga tinggi-tinggi. Selama ini anak SMPN 1 yang nilainya bagus tapi domisili kabupaten jarang diterima di SMAN 1," tegas Wulan. (Surya/Samsul Hadi)