Semiloka Festival International Panji Indonesia 2018 Menebar Cinta
Semiloka (Seminar Lokakarya) Festival International Panji (Inao) Indonesia 2018 memberi pesan ‘cinta.’
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Semiloka (Seminar Lokakarya) Festival International Panji (Inao) Indonesia 2018 memberi pesan ‘cinta.’ Cinta dalam konteks filosofis, yang mewarisi semua kebaikan; empati, dan kasih.
“Hari ini saya merasa berbangga. Sebab semua orang turut berpartisipasi. Sangat eager (berhasrat), sangat senang. Larut dalam emosi dan afeksi, melahirkan perenungan yang mendalam. Melalui kegiatan ini mudah-mudah kita dapat menunjukkan perasaan ”Love”; percintaan yang sesungguhnya,” ungkap Prof Dr I Made Bandem, MA. usai memberi materi pelatihan, di Gedung Ksirarnawa Art Center, Denpasar Bali, akhir minggu lalu.
Semua ini terjadi, lanjut Bandem, didasarkan atas kesamaan budaya.
“Di Asia Tenggara ini, kesenian apapun, apalagi kesenian yang diikat dengan cerita Panji, memiliki persamaan. Kita memiliki common ground; platform yang sama dalam soal ini. Termasuk juga berbagai aspek budaya lainnya,” jelas seniman, budayawan, dan pengajar seni asal Bali ini.
Selain Bandem, tampil nara sumber lain, yaitu Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA*, dan inisiator festival, Prof Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. Bertindak sebagai moderator Dr. I Nyoman Astita, MA, dan Dr. I Komang Sudirga, M. Hum.
Semiloka atau workshop ini diikuti para penggiat budaya, seniman, guru, dosen, pelajar, mahasiswa, dan delegasi kesenian dari tiga Negara; Indonesia, Thailand, dan Kamboja.
Turut serta juga Kasubdit. Seni Pertunjukan, Ditkes, Ditjen. Kebudayaan Kemdikbud, Edi Irawan, dan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Drs. Dewa Putu Beratha, M.Si, serta pejabat lainnya.
Gelar karya para delegasi kesenian dari Indonesia, Thailand, dan Kamboja, yang digelar malam sebelumnya, Kamis (28/06/2018), sangat menarik. Hal ini mendorong para pakar yang menjadi narasumber semiloka mendiskusikan pertunjukan tersebut.
Filosofi gerak dan instrumen musik menjadi content paling banyak dipersoalkan. Selain itu, menari bersama menjadi ritual paling menarik, yang diikuti semua delegasi dari tiga Negara.
Bandem, antara lain mengutarakan, apa yang dinamakan Ansambel Piphat di Thailand, memiliki instrumen serupa dengan Gamelan di Bali, Jawa dan Sunda.
“Bahkan sejarah Gamelan yang dinamakan Piphat itu, seperti _ The Ranat Ek_ dan Ranat Ek Lek dan Ranat Thum Lek, Khong Wong Lek and Khong Wong Yai, Taphon (Drumm), GrajaBpI dan Serunai (trompet), mereka mengatakan bahwa Gamelan seperti ini adalah pengaruh dari Jawa,” ujarnya.
Dalam perspektif lain, kata Bandem, ada juga yang mengatakan bahwa Gamelan (Gong) merupakan pengaruh budaya Melayu kuno. Tetapi kemudian karya ini lebih disempurnakan menjadi Gamelan yang lengkap di Jawa, Bali, dan Sunda.
“Selanjutnya menyebar ke Thailand, Kamboja, dan Negara Asia Tenggara lainnya. Bahkan masyarakat dunia sekarang terpengaruh oleh Gamelan kita,” ujar Bandem.
Saat ini di Amerika Serikat, kata Bandem, ada lebih dari 300 Gamelan Indonesia (baca: Jawa, Bali, dan Sunda). Di Inggris juga ada lebih 100 Gamelan. Bahkan Gamelan Indonesia juga ada di Australia dan Jepang.
“Hal ini yang mengikat kita sebagai bangsa. Khususnya bangsa Asia Tenggara, satu rumpun budaya Melayu kuno. Maka itulah kita bangga sekali,” kata Bandem.
Cerita Panji kini menjadi common heritage atau warisan bersama dari ASEAN. Cerita Panji muncul di Kediri Jawa Timur, seputar abad XIII, pada masa Kerajaan Singasari atau Kerajaan Majapahit.
Sejak itu cerita Panji berkembang, menyebar ke berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa, sampai ke wilayah-wilayah di semenanjung Asia Tenggara.
Cerita Panji di Thailand dan Kamboja banyak dipengaruhi berbagai cerita Panji berbasis karya sastra Melayu. Cerita Panji bukan cerita fiksi murni, tetapi juga terinspirasi berbagai peristiwa sejarah yang melibatkan para bangsawan di beberapa kerajaan sebelumnya.
Cerita Panji sebagian dipengaruhi mitos dan legenda yang diyakini masyarakat pada masanya.
“Apapun versinya, cerita Panji mengandung berbagai pesan nilai (moral) dan potensi dramatik (seni). Menjadi sumber kreatif para seniman dalam berkarya, baik seni sastra maupun seni pertunjukan,” urai Bandem.