Terendam Limpasan Air Laut, 21 Hektar Tanaman Cabe dan Bawang Merah di Bantul Terancam Gagal Panen
Luapan air laut yang merendam lahan pertanian di daerah Baros dan Muneng, Tirtoharjo, Kretek, Bantul hingga Kamis (2/8/2018) kemarin tak kunjung surut
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Luapan air laut yang merendam lahan pertanian di daerah Baros dan Muneng, Tirtoharjo, Kretek, Bantul hingga Kamis (2/8/2018) kemarin tak kunjung surut.
Kondisi ini menjadikan para petani di lokasi tersebut terancam rugi karena lahan pertanian garapan mereka gagal panen.
Dari pantauan Tribunjogja.com di lokasi, ketinggian air di beberapa lokasi mencapai dada orang dewasa.
Air tersebut diketahui merupakan campuran air laut dan aliran dari muara Kali Progo.
“Ini airnya asin, tanaman bisa mati kalau air terus-terusan merendam lahan,” kata seorang petani bawang merah, Lawan.
Lawan sendiri memiliki lahan sekitar 100 ru (sekitar 1400 meter persegi) di lokasi yang terdampak luapan air laut.
Sebanyak 70 ru diantaranya ia tanami bawang merah.
Sisanya, adalah lahan cabai keriting.
Khusus cabai, Lawan sudah sempat menuai hasil panen sementara bawang merah miliknya belum sempat panen.
Hitungannya, masih sekitar satu bulan lagi bawang merah milik Lawan panen.
Sayang, ketika tanamannya kini mulai tumbuh, air laut menggenangi sebagian lahan miliknya.
Lahan cabai yang paling parah, karena terendam sampai pohon, sementara lahan bawang merah di sampingnya masih terendam sebagian.
“Jadi ada tanggul antara lahan bawang merah dan cabai. Ini pohon cabai sudah terendam. Saya sedang berusaha mencegah air tidak merendam bawang merah."
"Lagi usaha sedot air pakai pompa, sudah sejak subuh sampai siang saya sedot. Cuma bisa berdoa air tidak masuk ke lahan bawang merah,” kata Lawan.
Sedikit berbeda dengan lahan milik Lawan yang kemungkinan masih bisa diselamatkan, lahan bawang merah milik Dwi Cahyono bernasib lebih parah.
Ini setelah 200 ru lahan bawang merah miliknya terendam air.
“Sudah habis, itu cuma kelihatan ujung daun, padahal tinggal dua minggu lagi panen,” katanya.
Total Rp 15 juta untuk biaya persiapan lahan, pupuk termasuk pembelian benih bawang kualitas super dari Nganjuk sudah ia keluarkan.
Dengan hitungan luasan lahan sampai 200 ru, Dwi memperkirakan bisa menghasilkan sekitar 3 ton bawang merah dengan nilai jual mencapai kisaran Rp 40 juta.
“Rencananya kalau panen mau buat tambahan memperbaiki rumah, tapi sepertinya sudah tidak mungkin lagi dipanen."
"Saya mohon pemerintah segera membantu kami dengan menyodet air ke laut supaya bisa segera turun,” kata Dwi Cahyono sembari melihat lahannya yang terendam.
Pulung Hariyadi selaku Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Kelautan dan Perikanan Bantul saat dikonfirmasi mengamini bahwa sejumlah lahan pertanian di Baros dan Muneng terendam air laut.
Luasan lahan yang terendam adalah 21 hektar dengan mayoritas lahan bawang merah yang mencapai 15 hektar.
“Masih terendam. Tergantung sampai sore ini (Kamis). Kalau air belum surut kemungkinan besar puso (gagal panen). Air laut ini memang berbahaya untuk tanaman pertanian. Tiga hari terendam atau lebih, tanaman pertanian sudah tidak bisa dipanen karena layu kemudian mati,” kata Pulung.
Dijelaskan Pulung, pihaknya sebenarnya sudah melakukan upaya agar air yang masuk ke lahan pertanian bisa mengalir ke laut.
Dua buah backhoe sudah diturunkan ke lokasi untuk membuat sodetan di pasir pantai.
Sodetan itu menjadi jalan untuk air mengalir dari lahan pertanian ke laut selatan.
Langkah ini efektif karena Rabu (1/8/2018) malam air dari lahan pertanian sudah mengalir ke laut.
Sayang, mendekati dini hari air laut pasang dan mendorong air kembali ke lahan pertanian pada pagi hari.
Air laut pasang tersebut, juga diketahui membawa pasir pantai yang membuat sodetan kembali buntu.
Diakui Pulung, siklus naiknya air laut di pantai selatan ini sebenarnya sudah biasa terjadi di kawasan Baros dan sekitarnya.
Para petani di lokasi tersebut, ia yakini sudah mengetahui bahwa luapan air laut ini menjadi siklus tahunan.
Hanya saja, tahun ini waktunya tidak sesuai prediksi.
“Biasanya gelombang tinggi terjadi di bulan September saat musim panen sudah selesai. Jadi efeknya tidak terlalu terasa."
"Tapi tahun ini gelombang tinggi datang lebih cepat saat petani belum sempat memanen hasil pertanian. Efeknya lebih parah karena durasi gelombang tinggi kali ini juga lebih lama,” kata Pulung. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.