Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mantan Perakit Bom JI Ali Fauzi Bikin Ngeri Anggota FKPPI di Lamongan, Ini yang Ia Lakukan

Ali Fauzi (47), nama yang tidak asing dan cukup familier di masyarakat Indonesia dan bahkan luar negeri.

Editor: Sugiyarto
zoom-in Mantan Perakit Bom JI Ali Fauzi Bikin Ngeri Anggota FKPPI di Lamongan, Ini yang Ia Lakukan
surya/hanif manshuri
Ali Fauzi memaparkan pengalamannya saat aktif sebagai kombatan, instruktur perakit bom hingga kembali ke pangkuan ibu pertiwi di depan ratusan keluarga FKPPI di Gedung Handayani, Senin (13/8) 

TRIBUNNEWS.COM, LAMONGAN - Ali Fauzi (47), nama yang tidak asing dan cukup familier di masyarakat Indonesia dan bahkan luar negeri.

Laki-laki yang berdomisili di Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan, ini adalah adik kandung Trio bomber Bali, Ali Gufron alias Mukhlas, Ali Imron dan Amrozi.

Ali Fauzi sendiri adalah mantan kombatan, pentolan Jamaah Islamiyah (JI) dan instruktur perakit bom. Dengan sejumlah nama seperti, Dr Azhari dan Noordin M Top, Ali Fauzi adalah sahabatnya dan saling kenal sejak 1991 di Ponpes Lukmanul Hakim, Johor Baru, Malaysia.

Dengan Hambali, komandan militer atau taj’nih Jamaah Islamiah (JI) wilayah Malaysia-Sabah yang kini ditahan di Guantanamo, Amerika, Ali Fauzi pun pernah dekat.

Namun, sepak terjangnya di dunia terorisme itu berbalik 180 derajat. Ali Fauzi kini sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Di depan ratusan anggota Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) , dalam acara Sosialisasi Pembinaan Wawasan Kebangsaan Kepemudaan dalam rangka HUT ke-73 RI oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) di Gedung Handayani, Ali Fauzi membeberkan pengalamannya saat bergabung bersama para teroris kelas kakap, Senin  (13/8/2018).

Ali Fauzi pernah  menjadi pengajar di Ponpes Lukmanul Hakim sejak 1991. Pada 1994, ia dikirim ke kamp Abu Bakar milik Moro Islamic Liberaation Front (MILF) di Pulau Mindanao, Philipina.

Berita Rekomendasi

Di kamp itu Ali bersama ribuan mujahid dari Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Philipina diajari pemetaan, penggunanan aneka senjata, perang gerilya, penyusupan, sampai perakitan bom dalam skala besar. Ali lalu menjadi instruktur di kamp Hudaibiyah.

Selama tiga tahun malang-melintang di Mindanao, Ali balik ke Malaysia tahun 1997. Ali menolak jadi pengajar lagi karena sudah dididik militer.

 Jiwanya kini militer tulen. Setelah itu Ali minta ijin kakaknya Ali Gufron untuk pindah Kuala Lumpur, lalu ke Selangor kerja sebagai kurir surat.

Ali tinggal di Banting, satu perumahan dengan Imam Samudra, Hambali dan alumni pelatihan militer Al-Qaedah, Kandahar, Afghanistan milik Osama bin Laden. Di antaranya alumni itu ada Yusuf juga warga Lamongan.

Pada 1998, Ali Fauzi pulang ke Lamongan.  Ali dipercaya  menjadi instruktur pelatihan militer anggota JI Jatim. 

Munculah konflik Ambon. Ali Fauzi dan pasukannya berangkat ke Ambon, dan konflik Poso. Tiga bulan sekali Ali balik ke Pulau Jawa, seminggu di jawa, balik lagi ke Poso atau Ambon membawa senjata dan bahan bom pothasium clorat rata-rata 500 kg. 

Pasca meledak bom Bali Pertama, 12 Oktober 2002, nama Ali Fauzi masuk DPO bersama 250 ahli bom alumnus kamp pelatihan militer Kandahar, Afghanistan milik Osama bin Laden dan alumni militer MILF Philipina.  

Ali masuk Mindanao, ia bertemu sahabat lamanya, Umar Patek dan Dul Matin yang sama sama kabur menghindari kejaran polisi pasca bom Bali. 

Pada 2005, Ali bersama 6 anggota pemberontak Abbu Sayap dan MILF tertangkap tentara Philiphina. Ali diganjar tiga tahun penjara tanpa proses peradilan.

Selama di penjara itu, Ali mendapat siksaan luar biasa. Badannya remuk redam sampai muntah darah.

Awal 2008 Ali dijemput Ketua Satgas Bom Polri, Irjen Pol Surya Dharma Salim. Selama proses ekstradisi Ali sudah menyiapkan mental akan mendapat siksaan lebih kejam dari polisi seperti dialami di Philipina.

Di luar dugaannya, Ali sebaliknya mendapat perlakuan sangat baik dari Surya Dharma, Tito Karnavian (sekarang Kapolri, Red), dan polisi lainnya. Ali dirawat di RS berkelas di Jakarta.

"Saya sudah mempersiapkan diri untuk menerima siksaan yang saya bayangkan lebih berat. Tapi Alhamdulillah saya diperlakukan sangat baik," ungkapnya.

Apa yang dialaminya saat tiba di Indonesia dan selama dirawat di rumah sakit itulah yang membuka mata hatinya bahwa tidak semua polisi jahat. 

Perlakuan polisi itu mengubah pandangan hidupnya sampai sekarang. Dari semula memusuhi polisi dan TNI, kini menjadi sahabat dalam menyadarkan pandangan mantan para teroris, mantan kombatan, mantan napi teroris.

Ali makin yakin dalam perjalanan hidupnya banyak menjumpai polisi yang  baik.

Tidak ada polisi beternak teroris, tidak ada TNI yang ternak teroris. Karena teroris itu tumbuh besar dan dibesarkan oleh kelompok-kelompok yang ingin sengaja menghancurkan indonesia. 

Ali Fauzi semakin sadar dan bertekad untuk membantu sesama mantan teroris untuk memulai hidup baru.

"Kita merajut hidup dari lingkaran bom menuju ke lingkar perdamaian. Melalui Yayasan Lingkar Perdamaian, kita akan hidup damai di Indonesia  bersama mantan napiter,’’ ungkap Ali Fauzi.

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas