Benarkah Ade Irma Nasution Ditembak? Ini Kesaksian Anggota Cakrabirawa Penjemput AH Nasution
Nyaris seluruh rambutnya memutih. Tubuhnya tinggi kurus. Kulitnya penuh garis keriput. Tapi aura prajuritnya tak hilang.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNNEWS.COM, PURBALINGGA - Sulemi namanya. Usianya telah lanjut, 77 tahun.
Nyaris seluruh rambutnya memutih. Tubuhnya tinggi kurus. Kulitnya penuh garis keriput. Tapi aura prajuritnya tak hilang.
Badannya masih tegap. Bicaranya tegas, terutama saat berujar apa yang diyakininya sebagai kebenaran.
Pantas, ia adalah mantan pengawal kehormatan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.
Sulemi bagian dari pasukan elit Batalyon 1 Kawal Kehormatan (KK) Cakrabirawa.
Posisi yang ia raih dengan susah payah melalui rangkaian seleksi ketat.
Ia pun sempat mencicipi manisnya jabatan yang telah membumbungkan kehormatannya dan keluarganya saat itu.
Tentunya, itu sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Hingga malam jahanam itu merenggut segalanya itu darinya.
Kehormatan yang ia raih berbalik jadi penistaan.
Fasilitas manis berubah siksa sadis yang harus ia derita selama di penjara.
Sulemi pun harus menanggung stigma dan memori buruk selama di penjara, seumur hidupnya.
Sore itu, Sulemi masih mengenakan baju koko lengkap dengan kopyah putih.
Gema suara azan sampai ke ruang tamunya yang berhimpitan dengan musala.
Sulemi tak gentar menceritakan kembali peristiwa 65 yang dialaminya.
Tapi untuk urusan ini, Sulemi tak main-main.
Ia mengawali pembicaraannya dengan berucap sumpah kepada Yang Maha Kuasa.
Bahwa, apa yang keluar dari mulutnya nanti, adalah sesuai dengan yang ia lihat, lakukan dan alami saat peristiwa 65 terjadi.
Ia tak mau menghancurkan generasi penerus dengan memutarbalikkan fakta sejarah.
"Kalau dikira saya mengarang, saya sebagai muslim bersumpah di hadapan Allah, apa yang saya katakan ini sesuai yang saya lihat, dan lakukan."
"Dalam Habluminallah, saya akan dimintai pertanggungjawaban Allah. Kalau saya bicara melenceng, akan menghancurkan generasi penerus," tegasnya saat ditemui Tribun Jateng di kediamannya, akhir tahun 2017 lalu.
Awal September 1965, seluruh anggota Cakrabirawa dikumpulkan.
Komandan Batalyon 1 Kawal Kehormatan Kolonel Untung bin Syamsuri memberitahukan situasi negara yang sedang gawat.
Karena itu, seluruh anggota diperintahkan untuk konsinyasi (siaga) untuk menghadapi kemungkinan kudeta oleh para perwira Angkatan Darat (AD) pada tanggal 5 Oktober.
28 September 1965, dalam sebuah apel besar, seluruh anggota kembali dikumpulkan untuk persiapan kegiatan 30 September malam.
Mereka diberitahu perihal jenderal-jenderal yang diisukan akan meng-kudeta presiden.
Mendengar instruksi itu, yang ada dibenak Sulemi sebagai prajurit, negara berada dalam situasi yang genting.
Ada usaha untuk menggulingkan pemimpin besar revolusi.
Sementara ia juga anggota pengawal presiden yang lain mengemban tugas untuk melindungi keselamatan presiden dan keluarganya.
Sang prajurit tak pikir panjang. Tak mungkin ia membangkang perintah atasan.
Apalagi berpikir jauh untuk menyelidiki kebenaran isu itu, termasuk urusan politik yang melingkupinya.
Bagi Cakrabirawa, keselamatan presiden berada di pundak mereka. Karena itu, perintah atasan harus dilaksanakan.
"Pola pikir kami saat itu, ini bahaya ada yang mau gulingkan pimpimam besar revolusi. Sehingga apa yang diperintahkan komandan siap laksanakan. Kalaupun kemudian saya dihukum karena melaksanakan tugas, itu sudah konsekuensi saya,"katanya
29 September 1965, Letkol Untung bersama Kolonel Latief sempat menemui Panglima Kostrad Soeharto di Rumah Sakit Angkatan Darat Jakarta.
Ia saat itu sedang menunggui putranya, Tommy Soeharto yang harus dirawat karena tersiram sup panas.
1 Oktober 1965 dini hari, seluruh pasukan yang terlibat dibagi ke dalam beberapa kelompok. Mereka disebar untuk menjemput para jenderal yang telah ditentukan.
Satu kompi pasukan, termasuk di dalamnya Sulemi bertugas menjemput Jenderal AH Nasution.
Perintah komandan saat itu, kata Sulemi, adalah menjemput jenderal dimaksud agar menghadap presiden Soekarno.
Ada persoalan penting yang harus dibicarakan antara mereka.
Rombongan penjemput Nasution rupanya sempat tersesat ke rumah Menteri JE Leimana yang bersebelahan dengan rumah AH Nasution.
Sulemi dan anggota lain berhasil masuk rumah Nasution tanpa hambatan.
Pintu rumah depan tak terkunci. Ia bersama dua anggota lain, Suparjo dan Hargiono menuju sebuah kamar tempat Nasution berada.
Sulemi mengetuk pintu kamar agar sang jenderal keluar. Nasution sempat membuka pintu sedikit, lalu menutupnya kembali dan menguncinya rapat.
"Saya ketuk. Kita dengan hormat. Tapi pintu ditutup kembali. Pengertian saya kalau begitu, dia sudah tahu apa yang mau kita lakukan," katanya.
Sulemi lantas memerintahkan dua anggotanya untuk membuka paksa pintu itu.
Keduanya menembaki kunci pintu mengunakan sten.
Tujuannya, pintu kamar terbuka sehingga mereka bisa masuk menemui jenderal.
Sulemi membantah terjadi konfrontasi langsung antara prajurit dengan putri AH Nasution, Ade Irma Nasution yang saat itu masih belia.
Terlebih anak itu bukan target mereka.
Jikapun peluru yang ditembakkan ke logam pintu itu meleset, lalu tanpa sengaja mengenai gadis kecil itu di dalam kamar, Sulemi tak mengetahuinya.
Kunci berhasil dirusak, pintu terbuka. Namun Nasution sudah tidak berada di kamar.
Ia berhasil lolos keluar kamar kemudian melompati pagar.
Suara tangis Ade Irma terdengar oleh prajurit saat meninggalkan kamar.
Tetapi Sulemi tak berpikir macam-macam. Ia menilai itu tangis wajar seorang bocah saat menghadapi situasi tegang.
Ia justru baru mengetahui kalau anak itu dikabarkan tertembak saat sudah meninggalkan rumah.
“Ini penyelewengan. Gila apa, anak kecil gak ngerti apa-apa ditembak. Segila-gilanya prajurit gak sampai begitu. Makanya saya tadi sudah sumpah, saya akan bertanggung jawab di hadapan Yang Maha Kuasa. Yang saya lihat dan lakukan, itu yang saya katakan," katanya. (*)