Sidang Perjalanan Dinas Fiktif, Saksi Kebingungan Disodori Bukti SP Bimtek
Pada sidang dengan saksi dari semua anggota Komisi I itu, jaksa Ade Azhari menanyakan soal bimbingan teknis dengan lembaga Pustaka Pemda
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Sidang kasus korupsi perjalanan dinas fiktif DPRD Purwakarta di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Rabu (16/1/2019), ungkap surat perintah Ketua DPRD Purwakarta terkait bimbingan teknis yang ternyata fiktif.
Pada sidang dengan saksi dari semua anggota Komisi I itu, jaksa Ade Azhari menanyakan soal bimbingan teknis dengan lembaga Pustaka Pemda pada 29 Juli hingga 1 Agustus di Kota Bandung.
"Apakah ada bimbingan teknis di tanggal itu bersama Pustaka Pemda dalam program peningkatan kapasitas anggota," ujar jaksa.
Komarudin, Ketua Komisi I tampak membuka kertas lalu menjawab. "Tidak ada bimbingan teknis pada tanggal itu," ujar Komarudin yang dibenarkan juga oleh anggota lainnya yang jadi saksi, yakni Hidayat, Fitri Maryani, H. Oja Sutisna, Anita Diana, H. Ihwan Ridwan, Heri Rosnendi, dan Yanthi Nurhayati.
Lantas, jaksa kembali menyinggung soal surat perintah tersebut.
"Ini ada surat perintah dari Ketua DPRD Purwakarta yang menyebutkan kegiatan bimbingan teknis bersama lembaga Pustaka Pemda, nama-namanya juga ada termasuk pak Komarudin," ujar jaksa.
Komarudin tampak kebingungan dan melihat anggota komisi I lainnya.
"Itu tidak pernah ada bimtek itu. Semua program kerja dewan itu sudah terjadwal, pada tanggal dimaksud tidak ada bimtek dengan pimpinan dewan," ujar Komarudin yang dibenarkan juga oleh saksi lainnya
Jaksa kembali mendesak. "Lantas bagaimana dengan surat perintah ini," ujar jaksa.
Komarudin dan saksi lainnya geleng-geleng kepala. "Tidak tahu," ujar dia.
Jaksa kemudian menunjukan sejumlah barang bukti kwitansi.
"Ini ada tanda tangan anda dengan kwitansi penerimaan uang Rp 4 juta (lebih)," ujar jaksa pada Komarudin, Ihwan Ridwan, Fitri Maryani, Oja Sutisna dan saksi lainnya.
Para saksi memang mengakui tanda tangan mereka di kwitansi itu.
"Itu memang tanda tangan saya, tapi saya tidak terima uang itu dan pada program kerja dewan pada 2016, semuanya sudah terjadwal," ujar Komarudin. Begitu juga dikatakan oleh Ihwan Ridwan.
Seperti diketahui, kasus itu melibatkan terdakwa M Ripai selaku Sekretaris DPRD Purwakarta dan Hasan Ujang Sumardi selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan dan ASN di DPRD Purwakarta.
Kasus ini bermula pada 2016, DPRD Purwakarta menganggarkan Rp 10 miliar untuk program kerja DPRD Purwakarta.
Yakni penelaahan pengkajian pembahasan raperda, peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota DPRD, koordinasi dan konsultasi pelaksanaan tugas pemerintahan dan kemasyarakat serta rapat badan anggaran.
Total pagu anggaran program itu mencapai 10,69 miliar dengan SP2D Rp 9,39 miliar dan SPJ pengesahan mencapai Rp 9,39 miliar.
Akibat perbuatan melawan hukum kedua terdakwa, negara dirugikan Rp 2,4 miliar.
Kedua terdakwa dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUH Pidana.
Dalam dakwaan jaksa, perbuatan kedua terdakwa menguntungkan diri sendiri atau 45 anggota DPRD atau suatu korporasi yakni Pustaka Pemda, Gemanusa dan Pusat Pengembangan Ilmu Pemerintahan Dirjen Kesbangpol Kemendagri.