Cornelis Lay Dikukuhkan jadi Guru Besar UGM: Intelektual dan Penguasa Harus Setia Pada Kemanusiaan
Hal itu disampaikan oleh Professor Cornelis Lay dalam pidato pengukuhan menjadi guru besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA- Intelektual dan kekuasaan takkan mungkin dipisahkan. Untuk menjaga idealisme, maka keterlibatan intelektual dengan kekuasaan itu harus mengabdi kepada cita-cita pembebasan dan pemuliaan kemanusiaan.
Hal itu disampaikan oleh Professor Cornelis Lay dalam pidato pengukuhan menjadi guru besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (6/1/2019).
Baca: Tertinggi Selama era Jokowi, Pertumbuhan Ekonomi 5,17 Persen di 2018
Pidatonya berjudul 'Jalan Ketiga Peran Intelektual, Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan', disampaikan di kampus UGM, Yogyakarta. Isinya berangkat dari sebuah concern, apakah mungkin memisahkan dunia intelektual dari kekuasaan.
Pidato itu menjadi menarik karena disampaikan di hadapan peserta acara, yang kebanyakan adalah pejabat di era pemerintahan Jokowi saat ini. Kebanyakan dari mereka dikenal juga sebagai intelektual di kampus.
Diantaranya, Mensesneg Pratikno yang juga Ketua Majelis Wali Amanah UGM. Mendagri Tjahjo Kumolo, Menakertrans Hanif Dhakiri, Menlu RI Retno Marsudi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar, dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Sementara dari kalangan tokoh politisi tampak hadir Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno dan Djarot Saiful Hidayat, dan puluhan politisi lainnya.
Cornelis menjelaskan, dahulu Proklamator RI Soekarno menyebut 'teori adalah tiada guna, tiada wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal'.
Pengalaman romantik ilmu dan kekuasaan seperti era itu sayangnya sangat singkat. Karena di 32 tahun era Orde Baru, ilmu direkayasa dan dikendalikan sebagai alat pembenaran alat kekuasaan negara.
Namun walau ada pengalaman traumatik itu, Cornelis menegaskan bahwa pemisahan mutlak intelektual dan kekuasaan sama sekali itu tidaklah mungkin.
"Intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian kualitas akademik, dan relasinya dengan negara," kata Mas Connie, sapaan akrabnya.
Baginya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya. Tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual.
Yakni berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Baca: Buka Kongres GMNI di Manado, Jokowi Ingatkan Mahasiswa: Kita Negara Besar
Cornelis menegaskan kembali, jalan ketiga yang ditawarkan adalah sebagai berikut. "Masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokok. Ini memang menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan," ujar pria yang dikenal sebagai aktivis GMNI itu.
Dengan itu, maka tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat dalam filsafat kekuasaan, bertumpu pada kehendak yang sama. Yakni cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
"Kesamaan kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya. Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan," kata dia.