Tersangka Ujaran Kebencian Rata-rata Gunakan Sumber Dari Medsos, Bukan Media Mainstream
Ustadz Rahmat Baequni misalnya, ia mengutip konten media sosial terkait petugas KPPS yang meninggal karena diracun.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG -- Lebih dari tiga orang ditetapkan tersangka kasus ujaran kebencian oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Jabar selama kurang dari satu tahun terakhir, atau selama suasana politik di Pemilu 2019.
Dari kalangan masyarakat biasa, dokter, akademisi dan terakhir, tokoh agama yakni Ustaz Rahmat Baequni.
"Dari semua tersangka kasus ujaran kebencian, rata-rata tersangka menyampaikan ujaran kebencian dengan sumber dari media sosial, bukan media mainstream," ujar Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko di Lapang Gasibu, Jalan Dipenogoro Kota Bandung, Minggu (23/6).
Pada kesempatan itu, digelar deklarasi masyarakat Jabar menolak kerusuhan.
Ustadz Rahmat Baequni misalnya, ia mengutip konten media sosial terkait petugas KPPS yang meninggal karena diracun.
Pemerintah sudah memastikan itu hoax, namun Rahmat Baequni menyampaikannya pada jemaah di sela ceramahnya.
Dodi Suardi, dokter spesialis di RS Hasan Sadikin mengunggah konten di media sosial berisi kematian seorang anak ditembak polisi pada kerusuhan 21-22 Mei.
Baca: 4 Zodiak yang Tak Bisa Berbohong, Selalu Ketahuan Kalau Menyembunyikan Sesuatu
Baca: Feri Amsari Nilai Alat Bukti yang Ditampilkan Kubu 02 dalam Persidangan di MK Lemah
Baca: Keren! Suardi Ubah Sampah Plastik Menjadi Bensin dan Solar
Baca: Hasil Akhir Persib Bandung vs Madura United di Pekan ke-5 Liga 1 2019, Skor Imbang 1-1
Padahal, itu juga informasi yang masih diragukan kebenarannya.
Ia ditangkap penyidik Ditreskrimsus Polda Jabar dan jadi tersangka meski belakangan penahananya ditangguhkan.
Seorang dosen pascasarjana, Solatun Dulah Sayuti bernasib sama.
Ia mengunggah konten kalimat di media sosial soal satu nyawa ditembak polisi harus diganti 10 polisi. Ia juga dijadikan tersangka.
Dalam wawancara kepada sejumlah media saat ekpose pengungkapan, keduanya mengaku hanya mengunggah konten yang sudah ada kemudian mereka sebarkan kembali.
"Dengan temuan fakta itu, dalam hal ini perlu disikapi, informasi yang berseliweran di media sosial tidak seluruhnya benar maka harus teliti dulu, tanyakan pada siapa yang berkewenangan," ujar Trunoyudo.