Anak Muda Kagum dengan Perlengkapan Bertani Indonesia
Mentan Amran Sulaiman, menjelaskan bahwa metode ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas sampai 0,3-1,8t atau 3,5–30,6 persen.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO - Penerapan teknologi pertanian semakin memikat anak muda di tanah air.
Farid (35) - seorang di antaranya, mengaku kagum dengan perlengkapan teknologi pertanian yang diterapkan pemerintah sejak memasuki era revolusi industri 4.0. Menurut dia, kemajuan ini bahkan lebih pesat dari perkembangan teknologi sektor lain.
"Saya baru tau ada drone penebar benih dan traktor alat pemanen pengering. Semuanya bergerak dengan kekuatan komputer. Jadi semuanya tinggal klik," ujar pemuda asal Desa Junwangi saat ramah tamah pada peluncuran pertanian modern di Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (29/6/2019).
Farid mengatakan penggunaan teknologi pada lahan pertanian Indonesia akan berdampak baik pada sisi kesejahteraan petani. Apalagi jika penggunaan alat ini mampu memacu hasil produksi secara signifikan.
Kata dia, pola ini sekaligus membuktikan bahwa Indonesia selangkah lebih maju dari negara-negara agraris di dunia.
"Saya dengar sebagian alat yang dipakai merupakan buatan dalam negeri. Ini namanya ada perkembangan yang pesat pada sektor pertanian kita, atau lebih pesat dari pertanian negara lain," katanya.
Baca: Menuju Pertanian 4.0, Kementan Gencar Modernisasikan Alsintan di Daerah
Lebih dari itu, Farid mengaku bangga karena nyaris semua hasil panen bisa dibeli lewat internet dengan sistem online. Terlebih kemudahan ini bisa diakses oleh masyarakat luas dengan mengunjungi website resmi toko tani kementerian pertanian.
"Beli sayur mayur, daging, telur, buah dan hasil produksi petani bisa dengan menekan klik. Sebagai anak muda, saya juga merasa tertantang dengan perkembangan yang ada ini," katanya.
Sementara itu, Mahasiswi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Aldila (23) mengaku senang dengan perlengkapan bertani yang dipamerkan pemerintah melalui launching 4.0 di Sidoarjo.
"Saya kan bukan anak pertanian basic nya, tapi saya jadi seneng dengan pertanian. Apalagi saya melihat langsunh teknologi yang ada. Dari sini, saya juga punya pengalaman baru," katanya.
Lebih dari itu, gadis yang menempuh studi di Fakultas Bahasa dan Seni ini juga mengaku bangga dengan sosok Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang mau mendengar keluh kesah petani setempat.
"Buat saya dan juga buat pak Menteri jadi sama-sama tau hambatan apa saja yang dihadapi petani. Kemudian saya juga bangga karena respon Kementan cukup solutif dalam menjawab tantangan petani," tukasnya.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian mendorong penggunaan teknologi perlengkapan alat mesin pertanian (Alsintan) seperti autonomous tractor, drone sebar benih, drone sebar pupuk granule, alsin panen olah tanah terintegrasi dan penggunaan obot tanam untuk memacu pertumbuhan produksi.
Setidaknya, cara ini berdampak langsung pada efisiensi waktu dan biaya hingga 40 persen untuk pengolahan tanah, 20 persen untuk proses penanaman dan 28,6 persen untuk penyiangan.
Selain itu, penggunaan mesin transplanter dengan metode tanam Jajar Legowo 2:1 juga sangat menghemat waktu, tenaga dan biaya produksi.
Mentan Amran Sulaiman, menjelaskan bahwa metode ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas sampai 0,3-1,8t atau 3,5–30,6 persen.
Secara finansial, pola ini juga terbukti telah meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp 1,3 juta hingga Rp 5 juta, atau dengan kata lain meningkat sebesar 19,10 hingga 41,23.
"Di sisi lain, pengadaan barang dan jasa melalui e-catalog bisa menghemat anggaran negara hingga 1,2 triliun. Penghematan ini digunakan untuk pembelian alat mesin pra panen dan pasca panen," katanya.
Selanjutnya, modernisasi pertanian juga sukses meningkatkan kesejahteraan pada Nilai Tukar Petani (NTP) maupun Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP). Kedua item ini meningkat masing-masing sebesar 5,45 persen dan 0,42 perse selama periode 2014-2018.
"Dampak lain dari peggunaan mekanisasi ini mampu menurunkan biaya produksi sekitar 30 persen dan meningkatkan produktivitas lahan sebesar 33,83 persen. Walau begitu, harga yang diterima petani menurun (deflasi) akibat produksi melimpah," tukasnya. (*)