Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kemarau, Hasil Panen Petani Jagung di Lampung Selatan Turun Drastis

Bila biasanya petani dalam 1 hektar bisa mendapatkan hasil 10-12 ton. Pada musim panen gadu kali ini petani hanya bisa mendapatkan hasil 2-3 ton saja.

Editor: Sugiyarto

Laporan Wartawan Tribunlampung Dedi Sutomo

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID -  Para petani jagung di kecamatan Way Panji Lampung Selatan tak bisa menikmati kenaikan harga.

Saat harga cukup baik mencapai Rp 4.200 per kilogramnya di tingkat pengepul, tapi hasil panen para petani pada musim tanam gadu ini justru turun drastis.

Bila biasanya petani dalam 1 hektar bisa mendapatkan hasil 10-12 ton. Pada musim panen gadu kali ini petani hanya bisa mendapatkan hasil 2-3 ton saja.

“Hasil panen kali ini jauh turun. Kalau bisa mendapatkan 4-5 ton saja dalam 1 hektar sudah sangat bagus,” kata Joko, salah seorang petani di desa Sidomakmur kecamatan Way Panji kepada Tribun, Selasa (30/7).

Menurut dirinya, pertumbuhan tanaman jagung tidak berkembang dengan baik.

Baca: Tingkatkan Produksi Jagung, Kementan Juga Beri Bantuan Alsintan

Ini karena dipengaruhi musim kemarau.

Berita Rekomendasi

Dimana tajaman jagung mengalami kekurangan air. Akibatnya pohon jagung kering dan buah jagung kecil.

“Padahal bibit yang kita tanam merupakan bibit unggul juga. Tetapi karena kondisi kemarau pertumbuhannya tidak baik,” ujar Joko.

Para petani pun hanya bisa pasrah tidak mendapatkan hasil yang maksimal.

Meski saat ini harga jagung cukup baik. Hal ini diakui oleh petani Jagung lainnya, Samsul.

Menurutnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali taman dengan luas lahan mencapai 1 hektar bisa sampai kisaran Rp 8 juta.

Ilustrasi panen jagung
Ilustrasi panen jagung (Kementerian Pertanian)

Itu jika lahan milik sendiri.

Sedangkan jika lahan yang digarap merupakan lahan sewa.

Maka, ujar dirinya, petani akan ada tambahan biaya sewa lahan Rp 4 juta untuk 1 tanam. Sehingga total biaya dalam sekali tanam bisa mencapai Rp 12 juta.

“Kalau hasil panen hanya 3 ton dengan harga Rp. 4.300 per kilogram ditingkat gudang. Sehingga setelah dikurangi potongan kadar air dan lainnya sekitar Rp. 3,300 perkilogram. Maka hasilnya kan hanya sekitar Rp 9 juta. Kita masih rugi,” kata Samsul.

Para petani sendiri tidak dapat berbuat banyak dengan kondisi keadaan yang ada.

Karena jika mereka menggunakan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air tanam jagungnya, maka biaya yang harus dikeluarkan akan jauh lebih mahal lagi.

Joko menambahkan, kondisi yang dihadapi petani memang kerap dilematik.

Pada saat musim tanam rendeng (penghujan) biasanya hasil panen jagung akan sangat baik. Namun biasanya harga jagung akan turun jauh.

“Ini kondisi yang kita hadapi. Saat panen baik di musim rendeng, biasanya harga jatuh hingga ditingkat petani tinggal Rp. 2.000 perkilogram. Bahkan dibawah itu. Tetapi saat kemarau, biasanya produksi menurun. Tetapi harga bagus,” kata dia.

Panen Melimpah, Pemerintah Siap Jaga Stabilitas Harga Jagung Petani
Panen Melimpah, Pemerintah Siap Jaga Stabilitas Harga Jagung Petani (Istimewa)

Kondisi yang sama juga dialami oleh para petani jagung di kecamatan Bakauheni, Ketapang dan Kalianda. Musim kemarau ini membuat hasil panen mereka turun drastis.

Tumpang Sari

Tantangan pertanian saat ini adalah adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Tentunya Pemerintah harus tetap mencari solusi atas tantangan tersebut, salah satunya adalah melalui program Tumpangsari Tanaman.

Tumpangsari sebagai pola tanam yang dapat meminimalisir persaingan lahan. Dalam satu hamparan lahan dapat ditanam untuk lebih dari satu komoditas.

Tumpangsari adalah bentuk pola tanam yang membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman dalam satuan waktu tertentu.

Tumpangsari ini merupakan suatu upaya dari program intensifikasi pertanian dengan tujuan untuk memperoleh hasil produksi yang optimal, dan menjaga kesuburan tanah.

Menurut Andi Saleh, Kasubdit Jagung dan Serealia Lainnya, Ditjen Tanaman Pangan Kementan, pola tumpang sari merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi lahan karena dapat mengoptimalkan pemanfaatan cahaya, air dan hara, mengontrol gulma, hama dan penyakit, serta merupakan jalur menuju pertanian yang berkelanjutan.

"Selain itu, sistem tanam tumpang sari antar komoditas tanaman pangan telah banyak dipraktikkan oleh petani," ujar Andi Saleh, dalam keterangan tertulis, Selasa (7/5/2019).

Bila komposisi tanaman dan jarak tanam ditata dengan tepat maka hasil dari kombinasi tanaman per satuan luas lebih tinggi dari sistem monokultur. Hal ini dapat menjadi solusi dan terobosan dalam pencapaian swasembada pangan.

Pola tanam tumpang sari juga meningkatkan intensitas penggunaan lahan, dimana intensitas penggunaan lahan yang tinggi berdanpak positif terhadap peningkatan pendapatan petani.

Berdasarkan manfaat dan keunggulan sistem tanam tumpang sari untuk peningkatan pendapatan petani dan pencapaian swasembada pangan nasional inilah Kementan mulai melaksanakan kegiatan pengembangan sistem tanam tumpang sari padi jagung secara nasional.

Tahun ini, sistem tanam tumpang sari padi jagung dilaksanakan pada target areal seluas 350.000 ha dari keseluruhan alokasi tumpang sari padi jagung kedelai seluas 1.050.000 ha dengan komponen bantuan kegiatan tumpang sari padi jagung berupa bantuan benih yang terdiri dari benih.

Paket bantuan yang diberikan ini nantinya hanya bersifat stimulan, artinya apabila bantuan yang tersedia tidak mencukupi untuk menyediakan paket teknologi yang direkomendasikan Badan Litbang Kementan atau instansi lainnya, maka tambahan anggaran dapat didukung dari anggaran APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota dan atau swadaya.

Andi menambahkan bahwa penggunaan lahan kegiatan tumpangsari dengan jarak rapat pada luasan yang seimbang antara komoditas padi jagung sehingga produktivitas tinggi dapat tercapai.

Jarak tanam yang digunakan padi gogo adalah 20 cm (antar barisan) x 10 cm (dalam barisan), sedangkan jarak tanam jagung 40 cm (antar barisan) x 15 cm (dalam barisan).

Jarak antara blok padi atau jagung 40 cm dengan memperhitungkan jumlah populasi tanaman dalam satu hektar.

Populasi tanaman per hektar pada sistem tumpang sari ini menggunakan populasi rapat, dengan jumlah populasi kurang lebih 200.000 rumpun/ha untuk padi dan 80.000 batang/ha untuk jagung.

Terkait dengan waktu tanamnya, sistem tumpang sari berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat dan dominan menguasai ruang maka akan lebih mampu berkompetisi dalam memperebutkan air, unsur hara, dan cahaya dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatif yang lambat, dan akhirnya akan memengaruhi produksi.

Waktu tanam pada kegiatan tumpang sari adalah padi gogo dilakukan lebih awal dengan selang waktu tiga minggu sebelum penanaman jagung, tambah Andi

"Apabila pola tumpangsari ini kita kelola dengan baik, saya yakin kita akan mampu menjaga ketahanan pangan nasional," pungkas Andi (Tribunlampung/Dedi Sutomo)

Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Hasil Panen Petani Jagung di Lampung Selatan Turun Drastis Akibat Kemarau, https://lampung.tribunnews.com/2019/07/30/hasil-panen-petani-jagung-di-lampung-selatan-turun-drastis-akibat-kemarau?page=all.

Sumber: Tribun Lampung
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas