Virus ASF Menyebar Begitu Cepat, Kematian Babi di Sumut Sudah Mencapai 27.070 Ekor
Virus African Swine Fever (ASF) atau Virus flu babi Afrika di Sumatera Utara menyebar begitu cepat.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN -- Virus African Swine Fever (ASF) atau Virus flu babi Afrika di Sumatera Utara menyebar begitu cepat.
Jumlah kematian babi di Sumut akibat penyakit tersebut mencapai 27.070 ekor di 16 kabupaten.
Kematian terjadi sangat cepat. Dalam satu hari, angka kematian terlapor rata-rata 1000-2000 ekor per hari.
Balai Veteriner Medan sudah menyatakan babi yang mati terindikasi African Swine Fever (ASF) atau Virus flu babi Afrika.
Namun, Menteri Pertanian hingga saat ini belum menyatakannya (declare).
Baca: Mantan Menteri Jepang Ditembak Bekas Teman SMA-nya Gara-gara Hutang Piutang
Baca: Jelang Nataru, Mentan Jamin Stok Beras Nasional Tetap Aman
Baca: Sekda Kabupaten Karo Sebut Bangkai Babi yang Dibuang Sudah Jadi Wabah, Ini Alasannya
Data yang diterima dari Kepala Bidang Kesehatan Hewan, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara, Mulkan Harahap, pada 10 Desember kematian babi sebanyak 25.656 ekor.
Dalam satu hari, Kepala Balai Veteriner Medan Agustia menyebut sudah terjadi kenaikan menjadi 27.070 ekor.
"Memang begitu cepat lah kematiannya di 16 kabupaten/kota," kata Agustia, Jumat (13/12/2019).
Dijelaskan Agustia virus hog cholera sudah pernah di-declare tak lama setelah kematian ribuan babi di sumut terjadi pada kurun tahun 1993 - 1995.
Saat itu, kasus bermula dari Dairi. Seperti halnya pada 25 September lalu, tercatat kematian serentak terjadi di Dairi kemudian menyebar di beberapa kabupaten lainnya.
"Berdasarkan ilmunya, ini akan habis semua. Karena hog cholera ada, biasa diikuti penyakit bakterial dan ASF juga terindikasi. Apakah declare menunggu habis semua, ini masih terus dibahas. Sedang dicermati dengan 3 komponen tadi," urainya.
Tiga komponen yang dimaksud, pertama hasil uji lab yang mana ternyata terdapat reaksi terhadap Afrikan Swine Fever (ASF), kedua, kajian secara epidemologi, terkait dengan mulai kapan terjadi, berapa yang mati dan sakit, dan ketiga terkait pola dan kecepatan penyebaran.
Menurut Agustia, kematian 27.070 ekor babi atau sekitar 2,7 persen dari populasi babi di Sumut 1.229.742 ekor itu, hanya terjadi di 16 kabupaten/kota dan pihaknya 'pontang-panting' agar tidak bertambah.
Untuk menyatakan penyebab kematian babi akibat ASF memiliki dampak yang besar dan karenanya tidak bisa dikeluarkan serta merta.
Sementara dengan referensi ASF itu, 90-100 persen habis. Itu menjadi pertimbangan di sana apakah deklarasi dilakukan secara nasional, provinsi atau kabupaten/kota.
"Karena ini hanya terjadi di Sumut, di 16 kabupaten/kota," katanya.
Deklarasi secara nasional, provinsi atau kabupaten memiliki dampaknya masing-masing. Kalau nasional, kata dia, berarti seluruhnya kena.
Ketika kabupaten, yang mati tidak sebanyak referensi hitungan para ahli. Menurutnya, keterlambatan (declare) itu membawa dampak buruk dan dampak baik.
Dampak buruknya, teman-teman di lapangan tidak memiliki kekuatan untuk pendekatan kepada berbagai pihak.
"Katakanlah dalam hal anggaran. Dampak baiknya, sekarang bisa mengetahui case-nya di mana. Tapi harus di-declare itu statusnya apa (ASF atau bukan)," tuturnya.
Agustia mengatakan, ketika sudah di-declare, berarti yang harus dilakukan adalah bio security dimulai dari skala kandang.
Pasalnya, jika satu sudah terkena maka satu kandang itu harus habis. Dengan catatan yang di kandang tak boleh keluar agar tidak menyebar.
"Jadi kalau sudah di-declare, itu yang hidup harus dihabiskan dan di tempat itu, dilakukan pengosongan dari ternak babi bisa 2-3 bulan. Setelah itu diletakkan hewan sentinel untuk memastikan tidak ada lagi satu pun virus di situ," bebernya.
Kalau tidak di-declare maka penanganan kematian babi akan mengalami kendala anggaran dan kendala teknis.
Pemerintah di daerah harus menunggu dari pusat. Namun menurutnya, sudah ada surat edaran dari Mendagri, Tito Karnavian kepada seluruh Gubernur terkait ASF yang dalam klausulnya menyebutkan untuk menggunakan APBD saat terjadi wabah seperti ini.
Dengan surat edaran itu, daerah bisa mengambil langkah-langkah penanganan.
Sejauh ini, anggaran, daerah minim. Jangankan APBD provinsi, pusat juga begitu. Sudah ada kamarnya masing-masing.
"Dengan case begini, misal di sini ada lebih sedikit tarik ke sini. Pusat lebih fleksibel, daerah tidak," sebutnya.
Terkait virus ASF ini, di Indonesia belum pernah terjadi, melainkan baru terindikasi. Sementara yang sudah positif adalah hog cholera atau kolera babi.
"Sekarang declare pun, apakah akan berhenti, enggak juga. Jadi bukan itu. Kita dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan sepakat untuk tetap melakukan kegiatan pengendalian supaya tidak meluas," ucapnya.
Ketika sudah di-declare kemudian ada pemusnahan, pertimbangan lainnya adalah mengenai keuangan negara.
Cukupkah menggantikan babi yang dimusnahkan. Kedua, dalam UU, untuk pengantian ternak itu adalah yang ternak yang sehat, yang terancam, bukan yang sakit.
"Tapi dari segi sosiologi masyarakat, siap tidak melihat dimusnahkan. Tak usah lah ribuan, 700 saja babi hidup dimusnahklan," katanya.
Cina, Vietnam, Kamboja, sudah melakukannya. Tapi berhenti kah kah kasusnya? Tidak berhenti. Sampai sekarang masih ada.
"Sekarang dilakukan adalah membungkus yang 16 ini, jangan sampai bertambah. Di situ lah pentingnya bio security, jangan saling melihat dulu, jangan ada yang keluar atau masuk dari dan ke daerah yang ada virus kematian babi," jelas Agustia.
( M.Andimaz Kahfi)
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Kematian Babi Akibat Virus Hog Cholera Begitu Cepat, Saat Ini Capai 27.070 Ekor di Sumut
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.