Cerita Sedih Nenek Esmi Tambunan, Hidup Sebatangkara, Tiap Natal Sendirian di Gubuk Derita
Sukacita Natal tak dapat dirasakan oleh Nenek usia 80-an tahun Esmi Tambunan seperti ketika ditemui Tribun Medan di Desa Unjur
Editor: Hendra Gunawan

TRIBUNNEWS.COM, SAMOSIR - Sukacita Natal tak dapat dirasakan oleh Nenek usia 80-an tahun Esmi Tambunan seperti ketika ditemui Tribun Medan di Desa Unjur, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Selasa (24/12/2019) malam.
Esmi terbaring lemah seorang diri di ruang tidurnya di bawah penerangan lampu pijar minim cahaya yang kontras dengan kelap-kelip pohon Natal tetangga dan gereja-gereja sekitar desanya.
"Dang hupikkiri be marnatal, asal ma nian mahiang ilu sian simalalolonghu on, nungga mauliate. Boasa ma songon on hutaon hassitna. (Tak bisa lagi kupikirkan Natalan, asalkan saja air mataku tidak lagi terus mengalir karena penderitaanku aku sudah bersyukur. Kenapa aku harus menderita terus," ujar Esmi sambil menangia ditanya doa dan harapannya pada Natal 2019 kali ini.
Baca: Ganjar Pranowo hingga Risma Kunjungi Gereja di Malam Natal, Kaporli dan Panglima TNI Ikut Pantau
Baca: Inilah Tradisi Unik Natal di Sejumlah Wilayah, Mengenal Tradisi Rabo-Rabo hingga Meriam Bambu
Baca: Panglima TNI Minta Aparat Jaga Pengamanan Natal Secara Humanis
Esmi menempati rumah adat Batak peninggalan almarhum orang tuanya.
Bertahun-tahun lamanya tinggal seorang diri tanpa pernah ditemani sanak keluarga di rumahnya.
Suasana di rumah Esmi begitu hening, jauh berbeda dengan rumah-rumah tetangganya.
Dia tidak seberuntung nenek-nenek seusianya yang ketika Natal dan Tahun Baru selalu dikunjungi anak dan cucu dari perantauan.
Apalagi, hingga usianya yang sudah 80-an tahun Esmi juga tidak menikah.
Dengan kondisi kesehatan yang tidak layak, Esmi hanya dapat bertahan seadanya.
Berbincang dengan Tribun, Esmi menunjukkan kedua kakinya yang semakin membengkak.
Ukuran paha dan betisnya pun menjadi serupa karena kembung seperti terkena asam urat.
"Tikki so accit pat hu, mangula do ahu hauma ni jolma asa boi mangan. Sonari, dang boi be meret age hudia. (Waktu kakiku belum sakit, aku menjadi buruh tani ke ladang orang biar bisa makan, sekarang tidak bisa lagi kemana-mana," sebutnya.
Kata Esmi, untuk makan saat ini dia terpaksa mendapat bantuan dari keponakan-keponakan dan keluarga lainnya.
Memang, diakuinya kerabat keluarganya sesekali masih memperhatikan dirinya, namun karena jarak yang jauh Esmi hanya bisa sesekali didatangi familinya.
Esmi yang semakin digerogoti penyakit dan faktor usia mengaku terkadang linglung, apalagi kala terbangun di malam hari.
Esmi bingung dan terkadang tidak tau sedang dimana meski tinggal di rumah peninggalan almarhum orang tuanya.
Kata Esmi, untuk makan saat ini dia terpaksa mendapat bantuan dari keponakan-keponakan dan keluarga lainnya.
Memang, diakuinya kerabat keluarganya sesekali masih memperhatikan dirinya, namun karena jarak yang jauh Esmi hanya bisa sesekali didatangi familinya.
Esmi yang semakin digerogoti penyakit dan faktor usia mengaku terkadang linglung, apalagi kala terbangun di malam hari.
Esmi bingung dan terkadang tidak tau sedang dimana meski tinggal di rumah peninggalan almarhum orang tuanya.
"Sipata linglung do ahu dang huboto idia, mardomu molo nungga tarsunggul di tonga borngin lungunan ma sasada ahu.
Marningot ma ahu haposoonhu, boasa ma ikkon songon on ahu
(Terkadang aku bingung tak tau sedang dimana, apalagi kalau terbangun tengah malam dan teringat masa muda dan kenapa sakitnya harus seperti ini," ujarnya.
Sehari-hari, dengan kondisi yang semakin renta penyakit yang menggerogoti tubuhnya mengulah.
Esmi mengaku, kakinya semakin bengkak karena ruangan belakang rumahnya tempat dia tidur sering dialiri air saat hujan deras.
Sementara dia yang sudah tidak sanggup menguras air yang masuk terpaksa membiarkannya hingga surut.
"Ido umbahen lamu bongkak pat hu on. Hudalani nama songon i aek i molo naing hu kamar mandi manang hu podoman.
(Itu yang bikin kakiku semakin bengkak. Kakiku sering terendam air yang merembes ke rumah)," ujar Esmi sambil menunjukkan ruang tidurnya yang posisinya persis di belakang bagian bawah rumah adat peninggalan orang tuanya.
Beruntung, masih ada tetangga dan kerabat keluarga yang sesekali memberikan Esmi uang. Sehingga ketika dia membutuhkan sesuatu, dia meminta tolong kepada anak-anak di sekitaran rumahnya untuk membelikannya lalu dia memberi sdikit imbalan.
Amatan Tribun Medan, Esmi makan seadanya dan bergantung pemberian orang-orang sekitar.
Dua ekor ikan mujahir tangkapan dari Danau Toba yang diantarkan familinya dihematnya agar cukup sampai dua hari menunggu ada yang berbaik hati lagi.
Esmi tidak bisa rutin memasak karena tidak selalu punya bahan makanan yang hendak dimasaknya. Untuk pakaian, pun dia mencuci sebisanya.
Nenek yang berjalan setengah bungkuk ini mengatakan tinggal menunggu azal saja agar tidak lagi merasakan pahitnya penderitaan yang dia alami.
Bukan tidak berkeinginan sembuh dari penyakitnya, tetapi Esmi tidak memiliki biaya berobat dan hanya memiliki obat oles tradisional "Sitappar Dasar" yang diberikan tetangga untuk mengurangi bengkak pada kakinya.
"Dang olo be ahu lao tu dia-dia, alok ma di jabu on ahu paima marujung.
(Aku tidak akan kemana-mana lagi, biarlah aku di rumah ini saja," tutup Esmi bercerita dengan Tribun Medan sambil menunggu Pagi Hari pada Nalam Natal 24 Desember 2019 di Samosir. (Arjuna Bakkara)
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Kisah Pilu Nenek Esmi Tambunan, Tiap Malam Natal Seorang Diri, Hidup Sakit-sakitan di Gubuk Derita,