Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Asa di Bawah Bukit Kapur, Jalan Panjang Joko Sulistyo dkk Putus Kekeringan Warga Pucung Wonogiri

Desa Pucung terletak di perbukitan kapur di wilayah Wonogiri selatan. Dari pusat kota Wonogiri berjarak sekira 36 km ke arah barat daya.

Penulis: Daryono
Editor: Whiesa Daniswara
zoom-in Asa di Bawah Bukit Kapur, Jalan Panjang Joko Sulistyo dkk Putus Kekeringan Warga Pucung Wonogiri
TRIBUNNEWS.COM/DARYONO
Mulut Gua Suruh di Desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019). 

TRIBUNNEWS.COM, WONOGIRI – Pemandangan berupa bongkahan batu-batu kapur terlihat mencolok saat Tribunnews.com memasuki Desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Batu-batu kapur itu tertata sedemikian rupa di sepanjang jalan Desa Pucung.

Desa Pucung terletak di perbukitan kapur di wilayah Wonogiri selatan.

Dari pusat kota Wonogiri berjarak sekira 36 km ke arah barat daya.

Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Akses utama ke Desa Pucung melalui jalur menanjak perbukitan dengan kemiringan sekira 45 derajat. Jalan tersebut berupa beton cor dua sisi alias rabat.

Jalan di Desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019).
Jalan di Desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019). (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Sekilas, kondisi Desa Pucung tak jauh berbeda dengan desa-desa pada umumnya.

Berita Rekomendasi

Namun, sebelum tahun 2013, Pucung menjadi desa yang selalu mengalami kekeringan di setiap musim kemarau.

Suyadi (60), warga Dusun Kangkung RT 02 RW 10, Desa Pucung, ingat betul masa-masa saat ia harus bangun pukul 03.00 WIB untuk mengambil air ke sumur bor Bayanan yang berjarak sekira 2 km.

Sumur bor Bayanan ini merupakan satu-satunya sumber air yang dimilliki warga di sekitar Desa Pucung yang dibuat pada tahun 2003.

“Kalau kemarau, jam 2 atau 3 pagi sudah berangkat. Kalau sore jam 6 atau 7 malam. Sudah biasa seperti itu,” kata Suyadi saat ditemui di rumahnya, Minggu (15/12/2019).

Sekali mengambil air, Suyadi dan warga lainnya dijatah 60-80 liter air per orang.

Air yang sudah ditampung dalam jerigen kemudian dibawa Suyadi dengan dipikul.

Begitu juga dengan kebanyakan warga lainnya.

Sementara, para wanita membawa air itu menampungnya dalam tempayan (klenting) dan kemudian digendong.

Ada sebagian warga yang mengangkut air tersebut dengan mengendarai sepeda motor namun hanya kalangan terbatas karena banyak warga tak memiliki sepeda motor.

Dengan air yang terbatas itu, warga pun harus pandai mengatur penggunaan air agar kebutuhan pokok seperti minum, masak dan mandi tetap terpenuhi.

Keadaan semakin parah saat sumber air di Bayanan tak selalu mengalir.

 “Sayangnya, sumber air Bayanan ini sering kehabisan air saat musim kemarau,” ujar Suyadi.

Warga sebenarnya berusaha mengantisipasi kekeringan dengan menampung air hujan ketika musim hujan.

Air hujan ditampung dalam bak tampung yang dimiliki masing-masing warga.

Namun, selain terbatas hanya untuk mencuci dan mandi, air hujan tampungan itu tetap saja tak bisa mencukupi kebutuhan warga.

Ketika memasuki bulan Agustus, kekeringan tak terhindarkan.

Sejumlah warga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih terpaksa membeli air tangki.

Tentu saja tak semua orang mampu membeli air tangki yang harganya Rp 200 ribu per tangki.

Kekeringan yang hampir selalu menjadi langganan warga Desa Pucung ini akhirnya bisa diputus pada tahun 2013 saat warga berhasil mengangkat air dari sebuah gua yang bernama Gua Suruh.

Gua ini berada di belakang Desa Pucung dengan jarak sekitar 500 m.  

Mulut Gua Suruh di Desa Pucung. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019).
Mulut Gua Suruh di Desa Pucung. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019). (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Dari dasar gua sedalam 44 meter ini, air didorong melalui pipa ke mulut gua dengan menggunakan dua pompa berkapasitas sedot 3.000 liter per jam.

Sampai di mulut gua, air kemudian didorong lagi dan ditampung dalam empat tower besar yang berada di puncak bukit Gunung Banteng. Jaraknya sekira 400 meter dari mulut gua.

Tower yang berada di puncak bukit ini berkapasitas 5.000 liter.

Dari tower tersebut, air kemudian dialirkan melalui pipa hingga ke rumah-rumah warga.

Tower air di puncak bukit Gunung Banteng. Masing-masing tower berkapasitas 5.000 liter. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019).
Tower air di puncak bukit Gunung Banteng. Masing-masing tower berkapasitas 5.000 liter. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019). (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Pengangkatan air dari dalam gua itu melalui proses yang panjang dan tidak mudah.

Joko Sulistyo yang saat itu tergabung dalam Pecinta Alam Giri Bahama Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menjadi salah satu orang di balik pengangkatan air Gua Suruh hingga kemudian berhasil mengatasi kekeringan di Desa Pucung.

Ditemui di rumahnya di Dusun Kenatan, Desa Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kalten, Joko Sulistyo mengatakan temuan sumber air di Gua Suruh diawali saat ia bersama rekan-rekannya sesama anggota pecinta alam Giri Bahama mulai melakukan penelusuran gua di Wonogiri pada tahun 2001.

Joko bersama teman-temannya kemudian menemukan adanya sumber air di dalam Gua Suruh.

“Air di Gua Suruh itu sebenarnya potensi airnya sedikit, tapi alirannya kontinu, mengalir terus. Kemudian, terpikir apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat. Mereka (warga Desa Pucung,-Red) kan kalau musim kemarau mengalami kekeringan. Nah muncul ide bagaimana memanfaatkan air yang ada di gua itu untuk membantu masyarakat. Tapi saat itu, kita juga belum tahu bagaimana caranya mengangkat air itu,” kata Joko, Minggu (8/12/2019).

Joko Sulistyo, mantan anggota Pecinta Alam Giri Bahama UMS yang berperan mengangkat air Gua Suruh, saat ditemui di rumahnya di Dusun Kenatan, Desa Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Minggu (7/12/2019).
Joko Sulistyo, mantan anggota Pecinta Alam Giri Bahama UMS yang berperan mengangkat air Gua Suruh, saat ditemui di rumahnya di Dusun Kenatan, Desa Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Minggu (7/12/2019). (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Setelah mengetahui ada sumber air di dalam gua, Joko bersama teman-temannya terlebih dulu meyakinkan warga bahwa di dalam Gua Suruh ada sumber air.

Agar warga percaya dengan temuan mereka, Joko dkk memutar video yang memperlihatkan kondisi dalam gua serta sumber air yang ditemukan.

Hal itu dilakukan karena hingga saat itu, belum pernah ada seorang pun warga Desa Pucung yang berani masuk ke dalam gua.

Setelah warga percaya adanya sumber air di dalam Gua Suruh, Joko mulai mencoba mengajukan proposal ke sejumlah instansi pemerintah dan swasta untuk membiayai pengangkatan air dari Gua Suruh.

Proposal yang diajukan pada 2008 itu diantaranya ia ajukan ke Pemerintah Kabupaten Wonogiri.

Hasilnya, tak ada satu pun instansi yang mau menyetujui proposalnya.

“Proposal saya itu cuman kayak jadi bungkus kacang. Mereka menganggap itu sulit direalisasikan. Saya cerita di gua ini ada air yang bisa diangkat, mereka juga tidak ada gambaran (bagaimana cara mengangkatnya),” terang Joko yang saat itu menjadi Koordinator Divisi Bidang Penelusuran Gua Mapala Giri Bahama.

Pelatihan untuk warga yang bakal turun ke Gua Suruh
Pelatihan untuk warga yang bakal turun ke Gua Suruh (Dok.Ist/Joko Sulistyo)

Kabar baik akhirnya datang pada tahun 2011.

Dengan dukungan Kepala Desa Pucung saat itu, Ashari, terdapat kucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan bantuan dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI).

Dana sekitar Rp 350 juta kemudian digunakan untuk membeli pompa, pipa dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan.

Meski sudah mendapatkan bantuan peralatan, Joko dkk masih belum mengetahui teknologi apa yang paling tepat untuk mengangkat air dari gua.

Joko pun berkonsultasi dengan berbagai pihak hingga akhirnya mengetahui teknologi yang tepat untuk mengangkat air.

“Waktu itu cari referensi (teknologi) masih susah, YouTube belum populer seperti saat ini. Akhirnya kita dapat saran, pakai pompa celup yang dipakai di hotel-hotel. Pompa itu mampu mengangkat air dengan kedalaman 80-300 meter,” ujar pria yang kini menjadi petugas survei pemetaan sertifikat.

Proses pembangunan instalasi jaringan air dimulai dengan terlebih dulu membuat bendungan di dasar gua.

Bendungan dibuat agar debit air yang tertampung di dasar gua cukup saat air disedot dengan menggunakan pompa.

Pembuatan bendungan di dalam Gua Suruh pada tahun 2012
Pembuatan bendungan di dalam Gua Suruh pada tahun 2012 (Dok.Ist/Joko Sulistyo)

Sebelum memulai membuat bendungan di dalam gua, Joko dkk terlebih dulu melatih warga yang nantinya bakal ikut turun ke dalam gua.

Hal ini karena untuk turun ke dalam gua tidak bisa dilakukan tanpa keahlian dan peralatan. Jalan turun ke dalam gua sempit dan licin.

Setelah semuanya siap, proses pembuatan bendungan dan pemasangan pompa serta pipa dimulai.

Warga bergotong-royong membawa material ke mulut gua.

Agar mudah dibawa ke dasar gua, material-material itu dimasukkan dalam kantong-kantong plastik.

Setelah itu, warga menurunkan material satu per satu ke dalam gua dengan menggunakan alat single rope tehnik (SRT) yang dimilki Joko dkk.

Selama proses pembuatan bendungan itu, tak jarang Joko bersama teman-temannya tidur di dalam gua.

Saat itu, Joko sudah lulus kuliah dari Jurusan Geografi UMS dan sudah menikah. Ia terpaksa bolak-balik meninggalkan istrinya yang kala itu tengah hamil tua.

Tak jarang, ia juga harus merogoh uang pribadinya untuk keperluan transportasi Solo-Wonogiri.

Material dimasukkan dalam kantong-kantong plastik. Material ini kemudian diturunkan ke dalam gua untuk pembuatan bendungan.
Material dimasukkan dalam kantong-kantong plastik. Material ini kemudian diturunkan ke dalam gua untuk pembuatan bendungan. (Dok.Ist/Joko Sulistyo)

Pembuatan bendungan, pemasangan pompa dan pipa yang memakan waktu selama enam bulan itu akhirnya berbuah manis.

Saat dilakukan ujicoba pada akhir 2012, air berhasil diangkat ke permukaan.

Air dari Gua Suruh akhirnya bisa dimanfaatkan warga Desa Pucung mulai tahun 2013.

Atas perannya mengangkat air dari Gua Suruh, Joko kemudian mendapatkan penghargaan Satu Indonesia Award dari Astra pada tahun 2013.

Awalnya, Joko berniat mengikuti lomba foto Astra.

Hal ini karena ia memilki banyak koleksi foto dari hobi fotografi yang ia tekuni. Dari situ, ia akhirnya justru mendaftar Satu Indonesia Award.

“Awalnya ya iseng-iseng saja. Saya sempat hampir didiskualifikasi karena tahun 2013 itu saya di Maluku, sempat nggak bisa dihubungi. Akhirnya bisa dihubungi, masuk 100 besar hingga 5 besar. Nggak kepikiran (bakal) menang,” kata lelaki kelahiran 5 Maret 1982 ini.

Uji coba pada tahun 2012
Uji coba pada tahun 2012 (Dok.Ist/Joko Sulistyo)

Dikelola Mandiri oleh Warga

Kini, 7 tahun berlalu, air dari dalam Gua Suruh masih terus mengalir dengan baik dan menjadi sumber air utama di Desa Pucung.

Air tersebut dikelola secara mandiri oleh warga dalam organisasi Tirta Goa Suruh yang diketuai oleh Suyadi.

Air dari Gua Suruh mengaliri 314 KK yang berada di enam dusun di Desa Pucung yakni Dusun Pule, Brengkut, Gundi, Kangkung, Turi dan Mijil.

Untuk menunjang biaya operasional, penggunaan air dikenai biaya Rp 3000 per m3 serta biaya tambahan Rp 5.000 per bulan.

Uang itu dipakai untuk biaya listrik sekira Rp 3 juta per bulan serta biaya lain seperti operasionl pompa serta pemeliharaan yang nilainya tidak sedikit.

Pipa yang menyalurkan air dari Gua Suruh ke puncak bukit Gunung Banteng di Desa Pucung. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019).
Pipa yang menyalurkan air dari Gua Suruh ke puncak bukit Gunung Banteng di Desa Pucung. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019). (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Saat berhasil dialirkan pada 2013, air itu awalnya hanya disalurkan sampai ke hidran-hidran di sejumlah titik.

Warga kemudian mengambil air dari hidran. Baru pada 2014, air disambungkan langsung ke rumah-rumah warga.

Suyadi mengakui, air yang ada saat ini baru sebatas untuk konsumsi warga.

Air belum cukup untuk hal-hal produktif seperti perikanan dan pertanian. Namun, adanya air dari Gua Suruh membuat warga tak lagi kesulitan air saat musim kemarau.

Ke depan, Suyadi bersama warga berharap bisa membeli pompa baru dengan kapasitas yang lebih besar.

Hal ini karena kapasitas pompa masih relatif kecil sehingga debit air yang diangkat belum maksimal.

Dengan debit air yang lebih besar, Suyadi ingin air dari Gua Suruh lebih banyak menjangkau warga di dusun lain atau bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih produktif, tidak sekedar konsumtif.

Suyadi, Ketua Tirta Gua Suruh, organisasi warga yang kini mengelola air dari Gua Suruh di Desa Pucung. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019).
Suyadi, Ketua Tirta Gua Suruh, organisasi warga yang kini mengelola air dari Gua Suruh di Desa Pucung. Foto diambil pada Minggu (15/12/2019). (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Potensi Sumber Air di Wilayah Karst Belum Terpetakan

Kepala Cabang Dinas ESDM Wilayah Sewu Lawu Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, Suhardi mengatakan tidak semua gua memiliki potensi air yang cukup untuk dijadikan sumber air.

Di batuan kapur, air hujan yang masuk ke dalam tanah ada yang langsung meresap, ada yang terkumpul di rongga batuan, ada yang bisa membentuk sungai bawah tanah.

“Yang terjadi di Gua Suruh itu memang (airnya) agak besar, kayak di Paranggupito juga muncul sungai bawah tanah, di sekitar pantai. Itu bisa dipakai air bersih. Kayak di Jogja itu di (Gua) Bribin,” katanya saat dihubungi Tribunnews.com melalui sambungan telepon, Jumat (27/12/2019).

Suhardi melanjutkan, tidak semua gua di Wonogiri bisa seperti Gua Suruh yang bisa diambil airnya.

Beberapa gua bahkan tidak ada tidak ada airnya sama sekali. Untuk bisa memastikan ada air dalam gua, perlu dilakukan penelitian terlebih dulu.

“Tidak semua (gua) bisa seperti di (Desa) Pucung. Kadang-kadang ada yang hanya (air) permukaan terus hilang, tapi ada yang bisa sampai menampung. Jadi tidak semua (gua) ada airnya,” terang dia.

Hingga saat ini, kata Suhardi, belum ada pemetaan sungai bawah tanah yang merupakan sumber air di wilayah karst Wonogiri.

Pihaknya sudah berusaha mengajukan pemetaan sungai bawah tanah di wilayah perbukitan kapur ke Pemerintah Pusat, namun belum ada realisasi.

Padahal pemetaan itu penting untuk menentukan sungai-sungai bawah tanah sebagai sumber-sumber air mana saja di wilayah karst yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi warga.

Apalagi warga di daerah kapur kerap mengalami kekeringan.

“Kendalanya, anggaran sangat terbatas. Kita minta ke pusat belum terealisasir untuk penelitian sungai bawah tanah di Wonogiri. Khususnya di wilayah selatan. Kalau ada pemetaan, bisa diketahui potensi air tanah sehingga akan diketahui titik-titik lokasi mana yang bisa dikembangkan,” ujar dia.

(Tribunnews.com/Daryono) 

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas