Perayaan Tahun Baru Bawa Berkah bagi Penjual Terompet di Blitar, Sehari Bisa Jual 200-300 Biji
Perayaan tahun baru identik diisi dengan kembang api dan terompet untuk menambah kemeriahannya. Penjual terompet di Blitar mengaku mendapat keuntungan
Penulis: Nuryanti
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Perayaan tahun baru biasanya identik dengan kembang api dan terompet untuk menambah kemeriahan malam pergantian tahun.
Penjual kembang api dan terompet musiman pun banyak yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan.
Perayaan tahun baru ini pun menjadi momen pembawa berkah tersendiri bagi para penjual terompet dan kembang api.
Satu di antaranya penjual terompet di Blitar, Jawa Timur, bernama Rummy, yang mengaku mendapat keuntungan berlipat menjelang momen pergantian tahun baru.
Rummy menjajakan dagangannya di Jalan Merdeka, Kota Blitar, menjelang perayaan tahun baru 2020, nanti.
Ada berbagai jenis dan ukuran terompet, dipajang di pinggir jalan untuk menarik minat pembeli.
Rummy mengaku menjual sebanyak 200 sampai 300 biji terompet setiap harinya.
"Tidak tentu, kadang 200, 300," ujar Rummy, dikutip dari YouTube Kompas TV, Selasa (31/12/2019).
Mulai dari terompet plastik hingga yang berbentuk naga, semua disediakan oleh Rummy.
Menurut penjual terompet ini, harga jual terompet yang ia jual bervariasi mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 30 ribu, tergantung jenis dan ukuran.
"Ada yang 15 ribu, ada yang 30 ribu, 25 ribu," jelas Rummy.
Perbedaan harga tersebut, menurutnya karena terompet yang dijual selain buatan sendiri juga beli dari pabrik.
"Kalau plastik dari pabrik, jadi mahal, kalau bikin sendiri, harga miring," ungkap Rummy.
Berbeda dengan terompet yang dijual di daerah lainnya, warga banyumas Desa Karanglo, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, memilih membuat terompet dari janur (daun kelapa muda) yang digulung hingga membentuk terompet.
Untuk menghasilkan suara, warga Banyumas ini menggunakan sedotan plastik.
Dikutip dari Kompas.com, terompet yang dinamai warga "turutu" itu dibuat dengan berbagai ukuran.
Ukurannya mulai dari yang terkecil dengan panjang sekitar 20 centimeter hingga yang terbesar dengan panjang 1 meter.
Seorang warga bernama Tarsih (65) mengatakan, untuk membuat satu terompet ukuran 1 meter memerlukan sekitar 100 helai janur.
Sementara, untuk pembuatannya membutuhkan waktu sekitar tiga jam.
Ia dan warga lainnya sudah membuat terompet dari janur ini dari 6 tahun yang lalu.
"Saya dan warga sudah membuat terompet seperti ini sejak 2013."
"Buatnya ramai-ramai sama warga dan anak-anak," kata Tarsih saat ditemui, Senin (30/12/2019).
Tarsih menuturkan, ide awal membuat terompet tradisional itu untuk memudahkan anak-anak setempat.
Anak-anak tidak perlu membeli terompet ke luar desa yang jaraknya cukup jauh.
Sementara, Bupati Sambas Atbah Romin Suhaili melarang warganya menggunakan kembang api dan meniup terompet saat merayakan malam tahun baru.
Alasan larangan itu disampaikan, melalui surat edaran Nomor : 100/289/Tupem A, yang ditandatanganinya 26 Desember 2019.
Menurutnya, kegiatan meniup terompet ini merupakan kegiatan yang tidak bermanfaat.
Selain itu, tradisi tahun baru dengan meniup terompet dan menyalakan kembang api ini akan mengganggu ketertiban.
"Kami melarang warga melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat sehingga dapat menggangu keamanan dan ketertiban umum," kata Atbah, Senin (30/12/2019), dikutip dari Kompas.com.
Menurut Atbah, untuk mengisi malam pergantian tahun baru, cukup berkumpul bersama keluarga di rumah dengan memanjatkan doa, renungan dan introspeksi diri hingga menentukan resolusi diri.
Ia mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan agar tahun yang akan datang lebih baik dari tahun sebelumnya.
"Warga merayakan tahun baru di rumah masing-masing, berkumpul bersama keluarga atau berdoa di rumah ibadah," ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris MUI Sambas Kalimantan Barat, Sumar'in, mengigatkan seluruh masyarakat dan generasi muda untuk tidak ikut merayakan pergantian tahun.
Menurut Sumar'in, pergantian tahun tidak perlu meniup terompet, memasang kembang api, kumpul-kumpul, karena tradisi tersebut bertentangan dengan syariat Islam.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Fadlan Mukhtar Zain/Hendra Cipta)