Aksi Kasus Bullying Terus Terulang, Ketua KGC: Selama Ini Anak-anak Menderita di Sekolah
Ramai kasus bullying di lingkungan sekolah, Ketua Kampus Guru Cikal (KGC), Bukik Setiawan membeberkan pandangannya.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Akhir bulan Januari, masyarakat dihebohkan dengan aksi bullying yang menimpa siswa SMP berinisal MS (13) di Kota Malang.
MS diangkat beramai-ramai oleh temannya dan dibanting di atas lantai paving sekolah oleh teman-temannya.
Tak hanya itu, MS sempat dilempar ke pohon oleh teman-temannya.
Kepada polisi, pelaku melakukan hal itu karena iseng dan bercanda.
Dikutip dari laman Kompas.com, akibat aksi bullying tersebut dua ruas jari tengah tangan kanan MS harus diamputasi karena jaringan di jarinya telah mati.
Operasi amputasi dilakukan di Rumah Sakit Umum Lavaletee, Kota Malang tempat MS dirawat, Selasa (4/2/2020), lalu.
Setelah, memeriksa 23 saksi, polisi menetapkan dua tersangka anak yakni WS dan RK.
WS merupakan siswa kelas 8, sedangkan RK siswa kelas 7 di Kota Malang.
Baca: Kasus Bullying Siswi di Purworejo, Ganjar: Jangan-jangan Sekolah Tak Mampu Selenggarakan Pendidikan
Terbaru, aksi bullying terjadi di satu sekolah tingkat pertama (SMP) di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Bahkan, video detik-detik kerjadian tersebut tersebar di media sosial dan menjadi viral.
Diketahui kasus ini mulai menjadi perbincangan sejak Rabu (12/2/2020) malam di berbagai platform media sosial.
Dalam video tersebut tiga pelajar tersebut menganiaya seorang siswi yang merupakan teman sekelasnya.
Satu di antara pelaku bahkan merekam kejadian ini.
Menurut pihak sekolah, kejadian terjadi saat pergantian jam pelajaran, sehingga saat itu kelas kosong dan tidak ada guru.
Korban yang dianiaya ini diketahui adalah siswi berkebutuhan khusus.
Tiga siswa tersebut telah ditetapkan menjadi tersangka dan kini mereka berada di Mapolres Purworejo.
Melihat maraknya kasus bullying di sekolah, Ketua Kampus Guru Cikal (KGC), Bukik Setiawan membeberkan pandangannya.
"Selama ini anak-anak menderita di sekolah, sebagian besar murid di indonesia menderita belajar," kata Bukik saat dihubungi Tribunnews, Kamis (13/2/2020).
Baca: Kondisi Terkini Siswi Korban Bullying 3 Siswa SMP di Purworejo, Korban Ternyata Berkebutuhan Khusus
Bukik kemudian memberikan contoh simpel untuk membuktikan pernyataannya di atas tersebut.
"Itu kalau kita ditanya kamu kapan gembira di sekolah? Gembira ketik jam kosong, waktu istirahat, dan ketika pulang"
"Lepas dari sekolah mereka bergembira ria," lanjutnya.
Sedangkan, aksi bullying dapat terjadi dikarenakan suatu lingkungan tidak ada aturan dan norma yang jelas.
Ketika tidak adanya hal tersebut, membuat anak-anak yang memiliki kekuatan secara berlebih memiliki motivasi dan dorongan untuk mendominasi individu lain, termasuk temannya.
Menurut Bukik, kekuatan ini dapat berupa fisik mapun hal lainnya.
"Kekuatan simbolik segala macamnya," imbuhnya.
Bukik melanjutkan, mirisnya aksi bullying juga sering terjadi dilingungan sekolah yang secara umum memiliki aturan di dalamnya.
Menurutnya, aturan yang dimaksud di sini bukan papan-papan bertuliskan aturan-aturan, melaikan lebih jauh dari itu.
Yakni aturan dan norma yang hidup dan dilaksanakan oleh individu di lingkungan tersebut.
"Peraturan yang ditulis tidak cukup," katanya.
Bukik mencontohkan, misalkan ketika kelas kosong tidak ada guru di dalamnya.
Maka siswa dan siswinya akan ribut di dalam kelas.
Baca: Soal Bullying di SMPN 16 Malang, KPAI Minta Pemerintah Penuhi Hak Rehabilitasi Korban dan Pelaku
"Kalau ada guru tidak masuk ke kelas yang akan terjadi apa? Ribut dan kacau kan? Ini menandakan tidak adanya norma di dalam."
"Norma perlu dihidupkan. Kalau masang peraturan kan gampang" tutur Bukik.
Sehingga dalam situasi chaos seperi ini memberikan peluang kepada seorang siswa atau siswi melakukan tindak bullying kepada temannya yang lain.
Bukik melanjutkan cara terbaik untuk menghidupkan norma di dalam lingkungan sekolah membutuhkan peran dari seorang guru dengan siswa dan siswinya.
Guru dapat mengimplementasikan manajemen kelas yang baik dan mengembangkan pembelajaran positif.
Guru juga diminta memberikan kesempatan kepada siswa dan siswinya untuk mengemukakan pendapat.
"Jadi tidak ada caranya mulai mengajak bicara murid, apa yang diharapkan untuk menciptakan situasi sehat."
"Dan dilakukan kesepakatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan," lanjutnya.
Bukik berpandangan baik korban maupun korban bullying memiliki posisi yang sama.
"Jadi kedua belah pihak adalah korban. Ada korban yang menderita merupakan korban dari pelaku."
"Sedangkan pelaku adalah korban dari sistem yang salah," tegasnya.
Sehingga ketika terjadi bullying merupakan kesalahan dari sistem yang dibangun di lingkungan sekolah.
"Ketika mereka melakukan bullying, kita orang dewasa di sekolah itu gagal menciptakan lingkungan ramah anak," ucapnya.
Terakhir, Bukik menekankan baik korban maupun pelaku bullying sama-sama membutuhkan bantuan.
"Korban butuh bimbingan menghilangkan traumanya. Sedangkan pelaku perlu dibantu mengelola perilakunya," tutupnya.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)