Baddrut Tamam: Mari Mengambil Hikmat Jalani Ramadan di Tengah Musibah
Di bawah ini opini dari Bupati Pamekasan, Addrut Tamam, mengenai hikmat bulan Ramadan di tengah pandemi Corona. Opini ini dimuat dari rilisan pers yan
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, PAMEKASAN - Di bawah ini opini dari Bupati Pamekasan, Baddrut Tamam, mengenai hikmat bulan Ramadan di tengah pandemi Corona. Opini ini dimuat dari rilisan pers yang diterima Tribunnews, Selasa (28/4/2020).
Ramadan tahun ini, sungguh berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, umat muslim Indonesia, bahkan muslim di seluruh dunia, menjalankan ibadah puasa ditengah pandemi global, penyebaran Covid-19. Karena itulah, wujud kegembiraan menyambut Ramadan tahun sebelumnya, seperti taraweh di masjid dan langgar, tadarrus maupun musik patrol keliling, tidak lagi terjadi pada Ramadan kali ini.
Hal itu, bukan karena kita meragukan ketetapan taqdir Allah, karena kecepatan penularan virus Covid-19 ini dapat menimpa siapa saja dan kapan saja. Akan tetapi, kita sedang menghindari takdir Allah yang satu, pergi pada takdir Allah yang lainnya, seperti dilakukan Amirul Mukminin Sayidina Umar Bin Khattab, ketika memutuskan menghindari Kota Syam yang sedang dilanda wabah penyakit.
Lalu, apakah hikmat yang bisa kita ambil dari mewabahnya Covid-19 disaat kita menjalankan ibadah puasa ini? Adalah Imam Syafi’i yang pernah mengomentari surat Al Ashr, dengan sangat optimis Imam Syafi’i berkata, Seandainya tidak ada Al-Qur’an, lalu hanya ada Surat Al Ashr, maka itu sudah cukup.
Sebabnya, Surat Al Ashr mengajarkan tentang tiga hal yang demikian urgen dalam kehidupan setiap muslim. Ketiganya adalah iman, amal saleh dan saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran. Surat Al-Ashr ini merupakan spirit penting, dimana keimanan kita pada kadar tertentu harus diiringi dengan pesan-pesan untuk menegakkan kebenaran dan kesabaran.
Sabar dan berkata benar adalah dua hal esensi ketika sebuah wabah penyakit melanda. Ketika Nabi Ayub dilanda penyakit, beliau tak hanya sabar ketika diuji beragam cobaan, tapi juga harus berkata benar kepada istrinya, satu-satunya pendampingnya yang masih ada saat itu.
Pandemi Covid-19 ini mirip dengan apa yang dialami Nabi Ayub, yaitu sebuah musibah yang tidak hanya berupa penyakit namun juga keterpurukan ekonomi dan hilangnya sebuah sejarah keluarga. Ayub tak hanya sakit, tapi beliau juga diuji kemerosotan ekonomi berupa hilangnya harta-hartanya dan wafatnya putra-putranya. Di akhir perjalanan sakit beliau ada ujian dari istrinya berupa keputusasaan sang istri atas penyakit Nabi Ayub.
Namun, apakah Ayub luluh? Ternyata tidak, Ayub mampu menjalani ujian pahit itu dengan sangat baik. Di kemudian hari, kesabarannya menjadi pepatah tentang keteladanan kesabaran berupa kalimat “kesabarannya seperti kesabarannya Ayub”.
Setelah kesulitan, maka datanglah kemudahan. Setelah musibah yang menjemukan, apa yang didapat Ayub. Ternyata Tuhan membalasnya dengan kebaikan berlipat. Qur’an Surat Shad ayat 41-44 melukiskan bagaimana Tuhan membalas kesabaran Ayub dengan obat, harta dan keluarga yang lebih banyak serta insyafnya sang istri.
Bencana memang harus melahirkan optimisme dan semangat untuk menasihati dalam kebenaran. Wabah Covid-19 ini juga memiliki korelasi dengan situasi kita hari ini. Di tengah beragam persoalan yang muncul sejak masalah ritual sampai ekonomi, kita memang harus terus berkata benar.
Bukankah kita dihadapkan saat ini pada kondisi anyir sebagian kecil masyarakat kita terhadap anjuran MUI dan pemerintah dalam soal ibadah? Bukankah kita menjumpai bertebarannya hoaks tentang corona, di mana kita harus menyampaikan kebenaran sebenar-benarnya, sejauh yang kita pahami?
Beragam hoaks yang menjangkiti masyarakat kita akhirnya pada tataran tertentu melahirkan satu sikap kritis agar kita mau aktif dalam menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Optimisme itu perlu dibangun dengan satu sikap positive thinking. seorang muslim yang berpengetahuan, pasti punya pikiran positif atas segala musibah.
Karena ujian berupa penyakit tak hanya menimpa muslim saja, tapi juga semua manusia bahkan sekelas nabi seperti Ayub. Faktanya, manusia memang tidak ada yang hidupnya senang terus atau susah terus. kebahagiaan dan derita datang silih berganti. Maka, dengan cara berpikir yang sederhana, kita hanya menyajikan satu hal saja dalam benak kita. Corona suatu saat akan berlalu seperti halnya bencana bencana lainnya.
Betapa pentingnya kita bersabar dalam kurun musibah ini. Bersabar dan berkata benar pada dasarnya merupakan salah satu kunci untuk mendatangkan kebahagiaan. Imam Ghazali berkata dalam salah satu Bab dalam Ihya’ Ulumuddinnya, bahwa kebahagiaan akan diraih sempurna jika seseorang bisa mengendalikan dirinya sendiri, dan kesengsaraan akan terjadi ketika seseorang dikuasai nafsunya sendiri. Bersabar dan berkata benar adalah kunci untuk mengekang hawa nafsu.
Ramadan adalah momentum dimana kesabaran dan kebenaran itu dipertunjukkan dalam panggung ritualisme kita.
Di balik semua musibah, Tuhan telah menyiapkan banyak skenario kebaikan, yang bahkan mungkin akal kita tak bisa menjangkaunya. Banyak hikmat yang akan didapat seorang muslim manakala dia mau bermuhasabah atas pandemi global ini.
Seorang muslim pasti akan menyadari bahwa beginilah takdir Allah berlaku, jika Yang Maha Besar berkehendak. Seorang muslim yang baik pasti akan berfikir bahwa musibah global ini akan menunjukkan, bahwa ada orang yang bersyukur dan bersabar, pun sebaliknya, ada orang yang yang kurang bersyukur dan tidak sabar atas musibah yang diberikan Allah.
Muslim yang cermat juga akan melihat dengan hati bersih, bahwa dunia adalah miniatur akhiratnya kelak. Kebahagiaan dan kesengsaraan hidup yang dialaminya, adalah sesuatu yang akan dia alami dalam perjalanan barzahnya dan perjalanan akhiratnya.
Pelajaran hidup itu bisa menjelaskan, bahwa terkadang kelezatan hidup menjadi relatif, ketika melihat bagaimana negeri-negeri yang indah secara duniawi, makmur secara materi, bahagia secara relasi sosial, tiba-tiba berubah drastis setelah Corona melanda.
Lihatlah Italia, Swiss, Jerman, Perancis dan negeri-negeri eksotis lainnya. Mereka tak ubahnya sebuah negara biasa saja ketika musibah ini datang.
Kekayaan negeri negeri itu tak ada artinya di hadapan virus virus nakal yang ukurannya super kecil. Emas emas yang mereka miliki tak ada gunanya kala mereka sakit.
Teknologi kesehatan mereka, bahkan masih membutuhkan waktu untuk menemukan formulasi vaksin yang tepat, sementara korban terus berjatuhan dan resesi di depan mata. Sungguh benar firman Allah dalam Surat Al-Ashr: "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran".
Dalam Al-Qur’an, Ramadan tersambung dengan kata Syahr (bulan), menjadi Syahru Ramadan (Bulan Ramadan). Tahukah kita bahwa Syahr itu terkait dengan kata Masyhur (populer). Syahr (bulan) menjadi mahsyur karena dulu bangsa Arab ketika melihat hilal awal Ramadan lalu mengumumkannya kepada massa, sehingga kabar awal Ramadan menjadi masyhur atau populer.
Begitu pun kita hari ini. Interupsi corona tak boleh mengalahkan kemasyhuran Ramadan. Ramadan harus terus hadir dengan segala kebaikannya namun dengan tetap berhati-hati dan cermat atas penyebaran Covid-19. (*)