Merdeka Belajar dari Bantaran Sungai Bengawan Solo
Memberikan kebebasan kepada peserta didik merupakan satu di antara konsep belajar yang diusung SD Alam Bengawan Solo sejak didirikan pada 2011 lalu.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Suara riuh tak lagi terdengar di bantaran Sungai Bengawan Solo yang melewati Dusun Panjangan RT 1 RW 1, Desa Gondangsari, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Pun dengan sejumlah aktivitas yang biasa dilakukan di lahan seluas 1.000 meter persegi itu.
Bila biasanya celoteh anak menghiasi sudut-sudut bangunan mirip rumah panggung, kini suara itu digantikan suara aliran air Sungai Bengawan Solo.
Terdengar pula suara sepeda motor keluar masuk area tersebut ditingkahi suara orang bercakap-cakap.
Pandemi Covid-19 memaksa 67 siswa SD Alam Bengawan Solo (SABS) melaksanakan sekolah dari rumah atau pembelajaran jarak jauh.
Suasana ini sangat berbeda dibanding sebelum pandemi Covid-19 merebak.
Menurut Kepala SD Alam Bengawan Solo, Siti Zulaikha, biasanya sepanjang hari, ramai anak-anak bermain atau belajar bersama di sekolah.
"Kalau siang seperti ini, ada yang main kontrakol, main bola, mengerjakan tugas di saung atau sambil main ayunan, perosotan, dan lainnya," kata Siti Zulaikha kepada Tribunnews.com, Selasa (11/8/2020) siang.
Baca: Upaya Kemendikbud Wujudkan Merdeka Belajar di Tengah Pandemi Covid-19
Baca: Merdeka Belajar untuk Semangat dan Inspirasi Peningkatan Pendidikan
Suasana penuh dengan aktivitas anak memang telah menjadi rutinitas di SD Alam Bengawan Solo. Di sini, anak-anak bebas melakukan apapun.
Mereka bebas bermain, belajar, bertanya, meneliti, bahkan mengeksplorasi alam sekitar. Bahkan mereka boleh memilih materi yang ingin dipelajari.
Isam, misalnya. Bocah yang duduk di kelas 6 ini tertarik dan ingin mempelajari tentang Papua.
Ia lantas membuat penelitian kecil-kecilan dengan mewawancarai sang ayah yang pernah bertugas di sana.
Isam juga melakukan panggilan video dengan anak asli Papua karena ingin mengetahui dialek atau bahasa yang dipakai sehari-hari.
Ya, memberikan kebebasan kepada peserta didik merupakan satu di antara konsep belajar yang diusung SD Alam Bengawan Solo sejak didirikan pada 2011 lalu.
Lebih luas lagi, sekolah juga membebaskan para siswa untuk belajar di mana saja, tidak harus berada di area sekolah.
Mereka menjadikan sawah, kebun, sungai, pasar, hingga pantai sebagai ruang belajar untuk para murid.
"Belajar tidak harus di ruang kelas. Bagi kami, anak-anak sebisa mungkin belajar dari contoh nyata dan hal itu tidak bisa ditemui di dalam kelas," ujar Zulaikha.
Bagi sekolah, memberikan kebebasan kepada siswa dalam memilih materi dan ruang belajar adalah satu langkah kecil agar anak dapat merasakan kemerdekaan dalam belajar.
Baca: Kemendikbud: Merdeka Belajar Terinspirasi Filosofi Ki Hadjar Dewantara
Baca: Ungkap Tujuan Kebijakan Merdeka Belajar, Nadiem Beberkan Ciri-ciri Pelajar Pancasila ada Enam
Sempat Dipandang Sebelah Mata
Suasana dan konsep belajar seperti inilah yang diimpikan penggagas SD Alam Bengawan Solo, Suyudi Sastro Mulyono sejak bertahun-tahun lamanya.
Sudah sembilan tahun, SD Alam Bengawan Solo menjadi rumah kedua bagi anak-anak usia SD dari Kabupaten Klaten, Sukoharjo, hingga Sragen.
Jelas, ada serangkaian proses panjang hingga menjadikan SD Alam Bengawan Solo seperti sekarang ini.
Perjalanan sekolah yang berada di perbatasan Kabupaten Klaten dan Sukoharjo dimulai dari pekarangan depan rumah milik Suyudi pada 2004.
Semula Suyudi merintis PAUD dan TK yang pada 2006, berkembang menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Taruna Teladan.
Ada kegelisahan yang dirasakan Suyudi saat terjun ke dunia pendidikan, termasuk keresahannya terhadap kondisi di sekitar.
Ia merasa, peserta didik hanya dicekoki dengan materi pelajaran sehingga daya kritis anak menjadi tidak terpantik.
Suyudi memiliki sejumlah ide besar dan gagasan bagaimana menciptakan proses kegiatan belajar yang tak hanya menyenangkan, tapi juga memerdekakan peserta didik.
"Pembelajaran di sekolah dasar adalah fundamen kepribadian dan karakter anak. Jadi saat mendirikan sekolah, saya berpikir tentang bagaimana mengonsep pembelajaran sehingga dapat membentuk kepribadian sekaligus anak memiliki karakter yang baik," kata dia.
Pria yang pernah mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo ini juga ingin mengubah cara pandang masyarakat sekitar: belajar tidak harus berada di tempat tertentu.
"Saya ingin mendekatkan media belajar atau laboratorium hidup kepada anak-anak," katanya.
Di tengah perjuangan mewujudkan gagasannya, Suyudi perlahan-lahan memperbarui bangunan sekolahnya.
Ia memanfaatkan tanah bantaran Sungai Bengawan Solo yang mangkrak milik Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo.
Suyudi mulai membangun sejumlah tempat belajar berbentuk saung bertingkat dari kombinasi kayu dan bambu dengan desain semi terbuka.
Tak ada tembok permanen yang menjadi sekat antar ruangan sebab ia ingin anak-anak nyaman saat belajar.
Gayung bersambut, pada 2010, Suyudi bertemu arsitek muda bernama Jefri Nur Arifin.
Pria yang memutuskan kembali ke kampung halamannya itu tertarik dengan konsep pendidikan yang digagas Suyudi.
Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk berkolaborasi dan mendirikan sekolah dasar sesuai impian.
Pada 2011, berdirilah SD Alam Bengawan Solo dengan 16 murid angkatan pertama.
Kala itu, sekolah lebih bersifat semi sosial sebab sebagian besar siswa berasal dari keluarga tidak mampu.
Sehingga mereka tidak perlu membayar SPP lantaran sudah ter-cover dari dana yang dikeluarkan Suyudi serta bantuan donatur.
Perjuangan SD Alam Bengawan Solo tak berhenti sampai di situ.
Walau sudah berhasil mendirikan sekolah, Suyudi mengaku tetap dipandang sebelah mata oleh beberapa orang.
"Hanya karena latar belakang saya sebagai tukang kayu, jadi banyak yang mengabaikan, 'alah tukang kayu isoe opo?! (halah, apa yang bisa dilakukan tukang kayu?!)" ucapnya sembari menirukan ucapan orang yang pernah mencibirnya.
Keberadaan SD Alam Bengawan Solo juga sempat sulit diterima masyarakat sekitar, pun dengan konsep belajarnya.
Kepala SD Alam Bengawan Solo, Siti Zulaikha menuturkan, untuk merekrut murid, pihak sekolah harus berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain alias door to door.
"Mungkin sebagian masyarakat merasa agak aneh karena siswa tidak wajib memakai seragam dan sepatu saat bersekolah. Kalaupun pakai sepatu, langsung dicopot dan ganti pakai sandal saat di sekolah," ujarnya.
Alasannya, sambung Zulaikha, agar anak-anak lebih leluasa saat beraktivitas di sekolah yang lebih banyak bermain di alam.
Seiring dengan berjalannya waktu, konsep belajar yang diusung SD Alam Bengawan Solo mulai diterima dan menyebar ke sejumlah kalangan.
Termasuk di antaranya, komunitas parenting dan pendidikan yang mulai melirik keberadaan SD Alam Bengawan Solo.
Empat Pilar Kurikulum
Sebagai institusi pendidikan paling dasar dalam proses belajar, Zulaikha sadar, sekolah yang dipimpinnya memiliki tugas besar dalam membangun karakter dan pribadi anak.
Termasuk membekali murid lewat sejumlah keterampilan hidup yang pasti dibutuhkan si anak di kemudian hari.
Oleh karenanya, sekolah membuat kurikulum yang sesuai visi ikut berkontribusi dalam mempersiapkan generasi pemimpin di masa depan.
"Sekolah sudah diberikan bibit-bibit yang baik, yang unggul, lewat anak-anak ini. Kemudian bibit-bibit itu, kami tumbuhkan selama proses belajar di SD."
"Agar kelak, saat mereka siap memimpin, di dalam dirinya sudah tertanam kebiasaan dan kecenderungan baik," ucap Zulaikha.
Ada empat pilar kurikulum yang diterapkan SD Alam Bengawan Solo yaitu kurikulum akhlak, entrepreneurship, leadership, dan kognitif.
Kempat kurikulum buah pemikiran Suyudi ini dijabarkan dalam sejumlah kegiatan belajar yang menyenangkan dan disesuaikan dengan kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah.
"Kurikulum akhlak tentang pembelajaran membentuk akhlak, kepribadian, dan karakter si anak," ujar wanita kelahiran Kudus, 13 Agustus ini.
Sementara kurikulum entrepreneurship diterapkan dalam pelajaran Sale Day yang digelar setiap hari Rabu.
Dalam program tersebut, siswa akan berjualan produk apapun, baik produk hasil karya bersama orang tua maupun produk yang dibuat sendiri.
Dari hasil penjualan tersebut dapat dipakai sebagai uang saku siswa atau membayar beberapa kegiatan di sekolah.
"Hasil penjualan harus dikelola sendiri sehingga siswa akan membuat laporan semacam pembukuan. Dari kegiatan itu, anak-anak belajar banyak hal, seperti menulis dan Matematika," kata Zulaikha.
SABS juga memiliki kurikulum leadership dengan harapan setiap siswa bisa memimpin diri sendiri, teman, dan sekolah serta memberikan contoh bagi siswa lainnya.
Satu di antara kegiatan yang merupakan aplikasi dari kurikulum leadership adalah outfun.
Siswa kelas 1-4 akan diajak bertualang ke alam selama dua hari satu malam dan menginap di suatu tempat, tanpa didampingi orang tua.
Alih-alih pada musim kemarau, kegiatan outfun yang diadakan setiap setahun sekali justru dilaksanakan saat musim hujan.
"Karena tantangan berkegiatan di musim hujan sangat banyak sehingga siswa akan mencari cara bagaimana tetap bisa bertahan di situasi yang tidak menyenangkan. Harapannya agar muncul ide-ide kreatif sekaligus menumbuhkan karakter tangguh pada siswa," kata Zulaikha.
Uniknya, biaya yang dibayarkan siswa untuk mengikuti kegiatan outfun merupakan hasil tabungan dari upah atau laba saat sale day.
Kurikulum terakhir adalah kurikulum koginitif yang dalam pengaplikasiannya, siswa diperbolehkan memilih materi sendiri.
Zulaikha menjelaskan, sekolah menetapkan satu tema besar yang berlaku di semua kelas setiap tiga bulan sekali.
Tema besar tersebut lantas dimusyawarahkan dengan para siswa agar memilih materi sesuai keinginan.
Pemilihan materi bisa dilakukan secara kelompok atau pribadi sehingga bisa saja setiap siswa menginginkan materi belajar yang berbeda-beda.
Yang unik, menurut Zulaikha, karena adanya pandemi yang memaksa siswa sekolah dari rumah, mereka memutuskan untuk memilih materi secara pribadi alias sendiri.
"Misal tema besar untuk bulan ini adalah Indonesia. Anak-anak memilih materi berbeda-beda. Ada yang ingin belajar tentang dongeng rakyat, senjata, pakaian, bahkan orang-orang terkaya di Indonesia," ungkap Zulaikha.
Sekolah, lanjut dia, tak mempermasalahkan materi yang dipilih siswa sepanjang masih selaras dengan tema besar dan apa yang bisa dipelajari dari materi tersebut.
Lantas, bagaimana dengan sistem evaluasinya?
Zulaikha membeberkan, setiap guru di SD Alam Bengawan Solo atau yang disebut fasilitator akan membuat laporan dalam bentuk angka dan portofolio terkait pencapaian siswa.
Fasilitator akan memilah mana kemampuan anak yang perlu diperbaiki atau mana yang perlu diberi ruang lebih agar semakin meningkat pada tema berikutnya.
"Bila masih ada kekurangan, kami memiliki catatan agar bisa ditingkatkan serta menjadi bahan diskusi antara fasilitator dan orang tua."
"Jadi bukan berarti kalau si anak tidak bisa mengerjakan, nilainya jadi jelek. Bukan seperti itu. Ini sekaligus menjadi evaluasi bagi kami agar berusaha mencari cara bagaimana supaya si anak paham," kata dia.
Proses ini, sambung Zulaikha, sekaligus sebagai upaya menghargai kemampuan setiap anak. Sekolah tak mau menyamaratakan kemampuan yang dimiliki setiap anak.
"Kalau distandarkan semua, nanti kami tidak menghargai anak yang berproses belajar. Makanya, dalam membuat soal evaluasi, kami bedakan sesuai dengan kemampuan setiap anak," lanjutnya.
Merdeka Belajar
Zulaikha tak menampik jika sekolah yang dipimpinnya telah menerapkan konsep Merdeka Belajar seperti yang digaungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Menurutnya, dalam konsep Merdeka Belajar, anak-anak diberikan kebebasan untuk mempelajari sesuatu hal sesuai keinginannya.
"Saya sangat sepakat dengan gelontoran ide dari Mas Menteri. Bagi kami, ide-ide dari Mas Menteri menjadi angin segar karena ide kami bisa tertransformasi di situ."
"Anak-anak juga bisa bebas bereksplorasi selama tujuannya benar. Dengan begitu, mereka merasa merdeka dan tetap masih bisa menikmati masa-masa usia sekolah dasar," ucapnya.
Zulaikha berharap apa yang dilakukannya bersama sejumlah fasilitator di SD Alam Bengawan Solo dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan Indonesia dan ikut serta mencetak peradaban yang lebih baik.
"Kita tidak pernah tahu tentang nasib dan masa depan si anak, tapi setidaknya langkah kecil kami bisa memberikan kontribusi bagi sekitar untuk kemajuan Indonesia," kata.
Hal senada juga disampaikan seorang wali murid, Richie Sofiani terkait konsep Merdeka Belajar yang diterapkan di SD Alam Bengawan Solo.
Menurut warga Desa Banmati, Kecamatan/Kabupaten Sukoharjo, konsep belajar di SD Alam Bengawan Solo sangat terasa memanusiakan anak.
Termasuk adanya interaksi sekolah dengan orang tua yang memberikan keleluasaan seandainya memiliki materi sendiri yang ingin diberikan kepada anak.
"Setiap anak-anak diberi kebebasan karena kemampuan mereka berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan. Makanya, saya sekolahkan anak di SD Alam Bengawan Solo agar mereka merdeka," katanya.
(Tribunnews.com/Sri Juliati)