Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat Termuda Gemetar saat Gunung Merapi Meletus pada 2010, Kaca dan Pintu Jendela Pos Bergetar

Peristiwa erupsi Gunung Merapi di tahun 2010 menyisakan memori membekas di benak pengamat Alzwar Nurmanaji.

Editor: Miftah
zoom-in Pengamat Termuda Gemetar saat Gunung Merapi Meletus pada 2010, Kaca dan Pintu Jendela Pos Bergetar
Istimewa/Tribun Jogja
Asap pembakaran bangkai hewan ternak yang tewas akibat awan panas Merapi 2010 di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman. 

TRIBUNNEWS.COM- Peristiwa erupsi Gunung Merapi di tahun 2010 menyisakan memori membekas di benak pengamat Alzwar Nurmanaji.

Pengamat termuda tersebut bahkan mengaku gemetar saat Merapi mulai ngamuk.

Gempa terus berulang kali terjadi, kaca hingga pintu jendela pos terus bergetar.

Alzwar Nurmanaji saat ini petugas pengamatan termuda di Merapi. Ia mewarisi gen pengamat gunung berapi, sejak kakek buyutnya. Tapi letusan eksplosif Merapi 2010, pernah membuatnya gemetaran di Pos Selo, Boyolali.

Gemetar Saat Kaca Pintu dan Jendela Pos Bergetar

Alzwar terbata-bata membuka memori peristiwa di suatu hari awal Februari 1992. Ia hanya mengingat, saat itu menggandeng adiknya, diseret bapaknya masuk ke bunker tua di belakang PGM Babadan, Krinjing, Magelang.

Pintu bunker lalu ditutup. Gelap, pengap, kesunyian dirasakannya tanpa banyak kata. Mereka berdua diam tak bergerak selama beberapa waktu. Suara gemuruh sayup-sayup terdengar di luar, saat gulungan awan panas berarak menyusuri Kali Senowo.

BERITA REKOMENDASI

Letusan Gunung Merapi 2 Februari 1992 hampir saja melumat Babadan. Jika gelombang awan piroklastika itu tidak terhalang punggungan bukit di seberang pos, semua yang di PGM Babadan bakal lenyap.

Alzwar Nurmanaji nama lengkapnya. Ia dilahirkan di Desa Banyubiru, Kecamatan Dukun, Magelang, 13 September 1986. Wawa, panggilan akrabnya, terhitung pengamat gunung Merapi yang termuda usianya di 5 pos yang ada.

Peristiwa 2 Februari 1992 itu tak pernah terbayangkan akan kembali dihadapinya. Kali ini jauh lebih dahsyat, membuatnya gemetaran, dan akan diingatnya sepanjang hidup sebagai momen paling menggiriskan; letusan eksplosif Merapi 2010.

Baca juga: Saat Gunung Merapi Ngamuk, Heru Lewati 100 Anak Tangga dan Bunyikan Sirine Sembari Bertakbir

Baca juga: Kisah Tegang Pengamat saat Gunung Merapi Ngamuk: Ada yang Sempat Memotret sebelum Melompat Kabur

Saat itu, ia berdua bersama petugas lain, Pak Singat, di PGM Selo. Gempa terjadi berulang sangat kuat.

“Saya ndredek (degdegan), lalu mengajak Pak Singat mundur. Tapi beliau bilang, tunggu dulu. Guncangan saat itu sudah menggetarkan bangunan dan kaca pintu serta jendela pos,” kata Wawa.


Beberapa saat selepas pukul 17.00, letusan pertama Merapi terjadi. Suara bergemuruh serta bubungan awan piroklastika terlihat dari PGM Selo, mengarah ke balik gunung.

Singkat cerita, semburan “wedhus gembel” petang itu, disusul letusan beruntun hingga malam menyapu Kinahrejo dan Kali Adem.

Mereka bertahan di PGM Selo, sebelum akhirnya mundur ke Dusun Selo, yang berada di punggungan lereng berbeda di kaki Merbabu.

Alzwar dan Pak Singat pindah ke rumah tokoh di dusun itu, sembari berupaya mengamati aktivitas Merapi sebisa mereka.

Alzwar berusaha mencuri waktu istirahat setelah bermalam-malam ia tidak bisa tidur karena kondisi genting di pos.

Hingga kemudian tiba momen dini hari 29 Oktober 2010, saat ledakan besar memuncratkan lava pajar membuat terang benderang puncak Merapi hingga lereng-lerengnya.

“Di Dusun Selo itu perasaan malah seperti sejajar dengan Pasar Bubar. Pemandangannya semakin menggetarkan,” aku Alzwar. Penduduk hanya tinggal segelintir. Sisanya sudah mengungsi ke Boyolali atau Magelang.

Paginya, ia mengajak Pak Singat mundur ke Boyolali. Seniornya setuju, tapi ia harus kembali ke PGM Selo dulu. Alzwar menentang karena situasi yang begitu gawat.

Ia ingat, saat keduanya meninggalkan pos, pintu-pintu belum dikunci. Banyak peralatan penting ada di pos. Ia berusaha meyakinkan Pak Singat, tidak perlu dikhawatirkan. Tidak akan ada orang yang berani mencuri.

Grafiti di sudut kampung Kepuharjo, Cangkringan, Sleman
Grafiti di sudut kampung Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, setelah letusan Merapi Oktober-November 2010

Alzwar benar-benar dilahirkan dari Merapi. Ayahnya, Sugijono HS, kini sudah pensiun setelah puluhan tahun bertugas sebagai pengamat Merapi.

Kakeknya, Sastro Jemangi, juga bertugas sebagai pengamat saat vulkanologi masih ditangani pemerintah kolonial Belanda. Kakek buyutnya, juga membantu geolog Belanda.

Saat itu tahun 30an, pos pengamatan Merapi didirikan di Gunung Gono, Dukun, Magelang. Posnya sangat sederhana di sebuah puncak bukit dekat rumah kakek buyut Wawa.

“Beliau (mbah buyut) mungkin menyaksikan letusan 1934 yang konon sangat besar, menghancurkan sektor barat. Kalau simbah kakung (Sastro Jemangi) konon melihat letusan 1954 yang memusnahkan dua dusun di alur Kali Apu,” kata Alzwar.

Suratno, si Jawara Kebut Gunung

Kisah unik menarik penuh lika-liku diceritakan Suratno alias Surat. Dia merupakan petugas pengamat Merapi paling baru yang dipekerjakan BPPTKG Yogyakarta.

Sebelumnya ia hanyalah porter lepas yang kerap diminta membantu para petugas BPPTKG Yogyakarta (dulu namanya BPPTK Yogyakarta).

Saat ini Surat ditugaskan di PGM Selo. Pos ini popular disebut UGA Selo. UGA singkatan Unit Gunung Api, nama peninggalan era Orde Lama.

Ia dilahirkan di Dusun Plalangan, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali pada 1972. Surat berlatar petani dan penggarap ladang.

Ia hanya mencicipi pendidikan di SD Selo 2. Sesudah itu tidak melanjutkan sekolah, karena situasi ekonomi. Pak Surat berkelana, menemukan pekerjaan di peternakan ayam.

Pertama kali ia bekerja di sebuah peternakan ayam di Polokarto, Sukoharjo. Sehari-hari ia tinggal di kandang, di lokasi yang jauh dari permukiman penduduk.

Sejak tahun 2000an, ia pulang ke Selo, membantu orang tuanya bertani. Pada tahun itu, di Selo digelar Lomba Kebut Gunung Merapi-Merbabu.

Suratno yang sebelumnya kerap naik turun Merapi ikut serta. “Saat itu start lomba mendaki Merapi dari Joglo Selo, bukan dari New Selo seperti sekarang,” kata Suratno.

Kebut Gunung itu lomba adu kecepatan mendaki Merapi dan Merbabu. Unsur kecepatan faktor penentu. Setiap peserta akan membawa beban pasir seberat 15 kilogram, ditambah perbekalan pribadi seperlunya.

Beban 15 kilogram itu harus utuh saat start maupun finish di titik awal keberangkatan. Di sepanjang rute ada pos-pos yang dijaga panitia, sehingga tidak mungkin beban itu dilepas atau dikosongkan.

“Waktu tempuh saya 1 jam 22 menit, pulang pergi. Saya juara dua. Juara pertamanya Ramli, tetangga satu dusun (Plalangan). Juara ketiganya Arif dari Jogja,” kenang Surat.

Waktu tempuh 1 jam 22 menit naik turun ke puncak Merapi (Pasar Bubar), tentu saja tidak masuk akal buat orang awam.

Apalagi start dari dekat jalan raya Selo, bukan di Plawangan (New Selo) seperti pintu masuk pendakian Merapi sekarang ini.

Baca juga: BPPTKG Sebut Gunung Merapi akan Erupsi dalam Waktu Dekat

Baca juga: Jadah Tempe Mbah Carik, Kuliner Legendaris Khas Lereng Gunung Merapi yang Tak Boleh Dilewatkan

Setya Krisna Smargo-Yulianto (celana loreng), Sapari dan Suratno saat berada di puncak Merapi 26 Oktober 2011 bersama tim Tribun Jogja
Setya Krisna Smargo-Yulianto (celana loreng), Sapari dan Suratno saat berada di puncak Merapi 26 Oktober 2011 bersama tim Tribun Jogja (Istimewa/Tribun Jogja)

Nah, saat jelang letusan 2010, Suratno dimasukkan ke tim 7, yang mendaki ke puncak seminggu sebelum erupsi. Ia turut merasakan pengalaman istimewa bersama petugas Merapi lainnya.

“Hawa di puncak jauh lebih panas dibanding biasanya. Begitu sampai, hawa panas itu terasa. Di beberapa retakan dinding kawah, saya lihat gas panas yang keluar warnanya biru,” kata Suratno.

Ia termasuk orang yang tiba pertama di puncak Merapi, tepatnya di kawah mati bersama Sapari, petugas BPPTK Yogyakarta yang menangani teknis instrumentasi.

“Saat melintasi Kawah Mati, guguran kubah lava 2006 berwarna hitam sudah tampak,” katanya. Surat lalu mendapat tugas memeriksa alat tiltmeter di dinding kawah Woro.

Lokasinya sangat berbahaya karena berada di tebing curam. Setelah itu ia membantu petugas lain saat mengambil sampel gas di rekahan-rekahan dinding puncak.

“Saat pengukuran suhu, saya lihat tongkat pengukur titanium sesudah ditusukkan ke lapisan permukaan kawah, keliatan bengkok seperti hamper leleh. Alat pengukur suhu menunjukkan angka 850 derajat Celcius, lalu error,” imbuhnya.

Besi itu ditusukkan sedalam kira-kira 50 sentimeter. Di kedalaman itu di bawah permukaan kawah Woro dan Gendol, suhu sudah lebih dari 800 derajat Celcius.

Perkiraan lain karena alat error, mestinya sudah di atas angka 1.000 derajat Celcius.

Takutkah? “Tentu saja takut. Manusiawi, karena siapa orang yang mau membahayakan dirinya di tempat seperti itu,” akunya.

“Tapi bagi saya karena itu diminta membantu tugas, yang dikerjakan sebaik-baiknya, secepat-cepatnya,” lanjut Surat yang pernah jadi anggota relawan Bara Meru dan SAR Boyolali ini.

(Tribun Jogja/Krisna Sumargo)

Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas