PSHT Solo Tanggapi Fenomena Ketakutan Masyarakat terhadap Pendekar Silat
Adanya sejumlah gesekan yang melibatkan perguruan silat membuat munculnya ketakutan di masyarakat. Begini tanggapan Dewan Pertimbangan PSHT Solo.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Adanya sejumlah konflik atau gesekan yang melibatkan perguruan silat membuat munculnya ketakutan di masyarakat.
Anggota Dewan Pertimbangan Cabang Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Kota Solo, Sugeng Riyanto, menyebut hal itu terjadi dikarenakan sejumlah aspek.
Sugeng menyebut, pencak silat sebagai sebuah ilmu bersifat independen atau obyektif.
"Lalu siapa yang menggunakan, siapa yang menjadi pendekar, karakternya kaya apa, tujuannya kemana, tiap orang beda-beda," ungkap Sugeng dalam program Overview Tribunnews.com, Kamis (29/10/2020) dengan tema 'Di Balik Nama Besar PSHT'.
Baca juga: 4 Alasan PSHT Disebut Perguruan Silat yang Diminati, dari Historis hingga Prestasi
Meskipun, lanjut Sugeng, setiap organisasi silat termasuk PSHT sudah mengajarkan bagaimana agar calon pendekar memiliki akhlak dan perilaku yang baik.
"Sehingga tidak menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat."
"Semua organisasi silat menyampaikan poin penting itu," ungkapnya.
Akan tetapi, Sugeng menyebut tidak bisa dipungkiri jika ada sejumlah oknum yang lepas dari tuntunan organisasi atau perguruan silat yang diikuti.
"Lantas digunakan untuk misalnya kejahatan, atau sesuatu yang membuat masyarakat takut," ungkapnya.
Baca juga: 3 Fakta Pembacokan Pesilat PSHT, Pelaku Pakai Cadar hingga Polisi Keluarkan Tembakan Peringatan
"Saya kira ini terdapat di manapun, yaitu oknum yang kemudian dia membawa ilmu bela dirinya bukan untuk melindungi orang lain tapi justru membuat takut orang lain, tentu ada oknum-oknum seperti itu," lanjutnya.
Akan tetapi jumlah tersebut hanyalah sebagian kecil.
"Jumlahnya tidak sebanyak mereka-mereka yang kemudian aktif di organisasi, aktif melakukan proses pembinaan, merekrut dan menggembleng atlet-atlet, atau yang terlibat aktif dalam kegiatan budaya," ungkapnya.
Sugeng menyebut, adanya oknum yang bertindak di luar ajaran menjadikan masyarakat takut.
Faktor kedua menurut Sugeng adalah efek media sosial yang membuat peristiwa kecil menjadi besar.
"Misalnya ada perkelahian di sebuah lokasi, sebenarnya perkelahian itu biasa saja, tapi media sosial ini menggambarkannya atau membumbuinya dengan bumbu-bumbu yang menjadi luar biasa."
"Sehingga kemudian menyulut adanya ketakutan di tengah masyarakat," ungkap Sugeng.
Baca juga: Mantan Pelatih Timnas Pencak Silat Rony Syaifullah: Anak Muda Jangan Takut Jadi Pesilat
Kemudian, kata Sugeng, yang mendapat sorotan bukan orang yang berkelahi namun organisasi yang ada di belakangnya.
"Kalau di belakangnya ada organisasi silat, ya organisasi silat itu yang kena."
"Kalau di belakangnya ormas, ya ormas itu yang kena," ungkap Sugeng.
Sugeng menyebut publik menangkap tidak secara obyektif, namun melihat dari apa yang tampak di media sosial.
"Pada prinsipnya organisasi silat pasti yang diajarkan adalah sesuatu yang mengarah pada kebaikan, mengarah pada prestasi, mengarah pada kontribusi."
"Siswa itu diajari bela diri bukan untuk membuat onar, tapi membela dirinya pada saat terdesak, atau membela orang lain saat orang lain dizalimi, itulah salah satu prinsip ajarannya," ungkap Sugeng.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)