Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Angka Kekerasan pada Perempuan di Solo Raya Meningkat, Didominasi KDRT

Menurut data laporan SPEK-HAM, angka kekerasan terhadap perempuan di Solo Raya mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Penulis: Shella Latifa A
Editor: Sri Juliati
zoom-in Angka Kekerasan pada Perempuan di Solo Raya Meningkat, Didominasi KDRT
Tribun Bali/Prima
Ilustrasi KDRT - Menurut data laporan SPEK-HAM, angka kekerasan terhadap perempuan di Solo Raya mengalami peningkatan setiap tahunnya. 

TRIBUNNEWS.COM - Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) merilis data aduan kekerasan pada perempuan di Solo Raya, yang diterima selama tahun 2020.

Menurut data laporan SPEK-HAM, angka kekerasan terhadap perempuan di Solo Raya mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Tahun 2019, sebanyak 64 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan diterima.

Untuk tahun 2020, saat terjadi pandemi Covid-19, jumlah kasus juga bertambah menjadi 80.

Hal itu diungkapkan oleh Koordinator Penanganan Kasus SPEK-HAM Solo Fitri Haryani pada webinar Launching Catatan Tahunan (CATAHU) bertajuk 'Bersinergi Meretas Kekerasan terhadap Perempuan”, Rabu (10/3/2021).

Baca juga: Dugaan KDRT Terhadap Istri, Dirut PT Tapen Harap Bisa Diselesaikan Secara Kekeluargaan

Baca juga: Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat, RUU PKS Perlu Segera Disahkan

"Trend kasus tidak turun, tapi tiap tahun semakin meningkat," ucap Fitri, Rabu (10/3/2021).

Selama tahun 2020, kategori kekerasan terbanyak masih dalam lingkup ranah personal.

Berita Rekomendasi

Sebanyak 62 kasus aduan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) telah diterima.

"Domestik ranah personal masih tertinggi dalam relasi pasangan rumah tangga."

"Dalam ranah personal, di dalamnya mereka saling mengenal, justru dekat sekali dengan kekerasan," jelas Fitri.

Sehingga, KDRT menduduki peringkat pertama dari sejumlah kasus kekerasan.

"Untuk data kasus tahun ini, KDRT masih menduduki posisi pertama," ungkapnya.

Aktivis perempuan dari Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Fitri Haryani.
Aktivis perempuan dari Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Fitri Haryani. (Dokumen Pribadi)

Baca juga: Mina Eks AOA Klarifikasi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Dirinya Bukanlah Selebriti

Baca juga: Kemendikbud Godok Rancangan Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Pada kasus KDRT itu, didominasi dengan bentuk penelantaran rumah tangga.

Baik dalam penelantaran ekonomi maupun meninggalkan rumah tangga dan menikah dengan perempuan lain sejumlah 47,5%.

Sementara, angka kasus terbanyak kedua di masa pandemi, yakni bentuk kekerasan seksual.

Dimana lebih kerap terjadi Kekerasan Berbasis Gender secara Online (KBGO).

"Kekerasan seksual bahkan meningkat 100 persen di situasi pandemi," kata Fitri.

Selain itu, melihat data kekerasan terhadap perempuan, kebanyakan korban dan pelakunya memiliki profesi.

Hal ini membuktikan, ekonomi bukan lah faktor utama dari kekerasan.

"Tidak hanya sebatas ekonomi sebagai pencetus utama, tapi ada faktor lain," tandasnya.

Ilustrasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ilustrasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (net)

Baca juga: Menteri PPPA: Resiko Kekerasan Online kepada Perempuan Meningkat Selama Pandemi Covid-19

Baca juga: Beberkan Tiga Dosa Besar Pendidikan, Nadiem: Siswa Perempuan Lebih Rentan Alami Kekerasan

Tanggapan Pengamat 

Pada kesempatan yang sama, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Akhmad Ramdhon ikut menanggapi tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Solo Raya.

Menurut Ramdhon, hal itu terjadi karena kebiasan rumah tangga yang harus berubah di masa pandemi.

"Keluarga dalam konteks pandemi mengalami highlight adaptasi baru," ucapnya.

Dimana, beban di luar rumah seperti pekerjaan, kini tertumpuk menjadi satu di lingkungan keluarga.

Ilustrasi kekerasan
Ilustrasi kekerasan (Istimewa)

Baca juga: 7.464 Kasus Kekerasan Perempuan Terjadi di 2020, Menteri PPPA: Ini Laporan, Aslinya Lebih Banyak

Baca juga: ARF Jadi Korban Kekerasan Seksual Kepala Sekolahnya, Modusnya Iming-iming Keringanan SPP

"Rumah tangga di era pandemi setahun terakhir, mengakumulasikan beban kerja bersifat publik."

"Beban itu harus menumpuk bersamaan dengan beban yang sudah ada sebelumnya di rumah."

"Orang tua yang selama ini di luar, ditarik ke dalam rumah," kata Ramdhon.

Dosen UNS ini juga sempat menyinggung momen pergantian kepala daerah yang baru.

Baginya, kepala daerah baru bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki isu kekerasan terhadap perempuan.

"Ruang politik untuk membangun implementasi UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT harus diafirmasi."

"Isu ini harus tetap diadvokasi dan afirmasi oleh pihak pemerintah dan stakeholders," tandasnya.

(Tribunnews.com/Shella)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas