Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dilecehkan Tetangga Depan Rumah, Remaja Semarang Enggan Lapor Polisi dan Ungkap 3 Alasannya

Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukaromah menyebut banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan keluarga tak sampai ke ranah hukum

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Dilecehkan Tetangga Depan Rumah, Remaja Semarang Enggan Lapor Polisi dan Ungkap 3 Alasannya
Trubun Lampung/Dody Kurniawan
Ilustrasi pelecehan seksual 

Laporan Wartawan Tribun Jateng Iwan Arifianto 

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Remaja putri di Tembalang, Kota Semarang, sebut saja Bunga  mendapatkan kekerasan seksual oleh tetangga depan rumahnya yang dilakukan seorang kakek.

Namun, korban enggan aksi kekerasan itu tak berlanjut ke ranah hukum lantaran pihak keluarga korban merasa takut tertekan seandainya melaporkan ke pihak polisi.

Apalagi pelaku seorang kakek yang sudah berusia lanjut yang rumahnya persis berhadapan dengan rumah korban.

Hal itu diungkapkan saksi, Rofiatun, saat berbincang dengan Tribunjateng.com.

"Saya tahu kejadian itu saat mengajar korban di sekolah," ucapnya.

Korban dekat dengannya sehingga berani terbuka dan menceritakan peristiwa pelecehan tersebut.

Baca juga: Dugaan Pelecehan Mahasiswi, Untirta : Perbuatan di Luar Area Kampus dan Pelaku Terancam Dipecat

Berita Rekomendasi

Kejadian itu langsung disampaikan kepada pihak keluarga meski akhirnya kasus berakhir seperti itu.

"Alasan keluarga tak membawa kasus itu ke ranah hukum karena kasus diselesaikan secara kekeluargaan," terangnya.

Menurut Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), kasus kekerasan seksual di lingkungan terdekat korban memang banyak yang tak berlanjut ke ranah hukum.

Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukaromah menegaskan, banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan keluarga tak sampai ke ranah hukum.

Alasannya kasus sudah diselesaikan secara kekeluargaan.

Keluarga kepada pendamping hukum biasanya memberikan keterangan bahwa pelaku sudah meminta maaf dan tak akan mengulangi perbuatannya.

"Mereka juga menghalang-halangi pendamping hukum untuk bertemu dengan korban," tuturnya kepada Tribunjateng.com, Jumat (8/10/2021).

Dari data penanganan kasusLRC-KJHAM di lingkup Jawa Tengah tercatat, di tahun 2018 terdapat 74 kasus kekerasan terhadap perempuan, tahun 2019 meningkat menjadi 84 kasus, dan di tahun 2020 meningkat lagi menjadi 96 kasus.

Kemudian di tahun 2021 per Juni tercatat ada 60 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 95 perempuan.

Lima Kabupaten/Kota tertinggi meliputi Kota Semarang, Kabupaten Demak,Kabupaten Kendal, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Magelang. 

Korban terbanyak adalah usia anak yaitu sejumlah 58 korban atau 61 persen. 

Kekerasan terhadap perempuan banyak dilakukan oleh pelaku yang memiliki relasi dekat dengan korban. 

Seperti suami, pacar, ayah kandung, ayah tiri, guru, guru ngaji, mantan suami, kakek, adik kandung.

Pendidikan perempuan yang menjadi korban kekerasan juga beragam mulai dari SD sampai S2. 

Maka apapun status Pendidikan terakhir perempuan tetap rentan mengalami kekerasan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan saat ini masih didominasi kasus kekerasan seksual. 

Baca juga: Jaleswari: Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tidak Bisa Ditolerir

Dari 95 korban, 76 perempuan korban atau 80 persen mengalami kekerasan seksual.

"Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga termasuk tinggi di periode ini yaitu 20 kasus," jelasnya. 

Ia mengaku, pernah menangani kasus seorang Ayah melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandung.

Ketika itu, meski sudah jelas menjadi korban namun korban dipersulit oleh beberapa oknum. 

Di antaranya saat korban diminta memeriksa kondisi psikologis kepada tim psikolog yang ditunjuk penyidik.

Hasil pemeriksaan korban tak memiliki tanda-tanda menjadi korban atau trauma.

Berhubung hasilnya aneh sekali, Ibu korban memeriksanya ke psikolog lain.

"Hasilnya anaknya atau korban memang mengalami trauma dan ketakutan saat menceritakan ayahnya atau pelaku," bebernya. 

Menurutnya, kasus itu berlangsung lama dan terbelit-belit.

Korban merasa frustasi karena kasus itu sudah berangsur lama dan tak kunjung usai.

Pihak korban sering mendatangi pihak penyidik namun penyidik selalu beralasan tak di tempat.

Korban akhirnya merasa capek karena rak ada kejelasan kasus dari kepolisian. 

"Terlebih ibu korban sehingga mereka memilih tak melanjutkan kasus tersebut," paparnya.

Dijelaskan,korban akan semakin kesulitan menempuh jalur hukum semisal pelaku memiliki jabatan strategis atau memiliki uang.

Hal itu biasanya diproses penyelidikan agak berat.

"Ketika ada kasus seperti itu sebaiknya memang harus ada akses rumah aman bagi korban," tuturnya. 

Ia menyebut, sejauh ini masih dijumpai respon kurang baik dari aparat penegak hukum ketika mendapatkan laporan terkait aksi kekerasan seksual yang menyasar korban dengan pelaku orang terdekat.

Menurutnya, selalu ada tanggapan beberapa oknum kepolisian yang secara pribadi menanyakan kepada korban dan pendamping hukumnya terkait keseriusan laporan tersebut. 

"Petugas kepolisian malah meminta agar korban menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan karena melihat pelaku masih kerabat baik itu ayahnya, kakeknya, pamannya dan lainnya," katanya.

Ia menuturkan, aparat penegak hukum perlu pelatihan dan penguatan bagi penyidik yang menangani kasus kekerasan seksual khusunya di Unit PPA.

Di Jawa Tengah, pelatihan seperti itu sudah ada namun tidak cukup hanya sekali dua kali lantaran penyidik tentu ada pindah tugas atau rolling sehingga pelatihan harus rutin.

"Ini sangat penting karena menyangkut perspektif.

masih ditemukan banyak oknum penyidik masih memberikan stigma negatif ke korban kekerasan seksual ketika melaporkan ke kepolisian," ujarnya.

Tak hanya stigma, oknum penyidik juga menyalahkan korban.

Meminta korban intropeksi diri, dan mencurigai penyebab kekerasan seksual disebabkan oleh korban.

"Perspektif seperti itu seharusnya tak dipakai oleh polisi saat menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan.

Menurutnya, kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya perlu membangun perspketif adil jender dan hak asasi manusia.

Selain itu perlu aktif melakukan koordinasi dengan para pendamping hukum dan pihak terkait.

"Sekaligus perlu melakukan rapat penanangan kasus kekerasan seksual secara intens," paparnya. (Iwn)

 

Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Bunga Dilecehkan Tetangga Depan Rumah, Keluarga Tak Mau Lapor, Kasihan Sudah Lansia 

Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas