185 Pengungsi Rohingya Tiba di Aceh, Sebagian Besar Terdiri dari Wanita dan Anak-anak
185 pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Sebagian besar pengungsi terdiri dari wanita dan anak-anak.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Kapal dengan 185 pengungsi Rohingya tiba di Aceh pada Minggu (8/1/2023), Reuters melaporkan.
Lebih dari setengah pengungsi Rohingya yang datang adalah wanita dan anak-anak, ujar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh Besar, Ridwan Jamil, kepada Reuters.
Foto-foto yang dibagikan Ridwan menunjukkan para pengungsi duduk berkelompok dan berbaring di atas pasir.
"Mereka umumnya sehat, tapi di antara mereka ada satu ibu hamil, dan empat orang sakit," kata Kombes Irwan Fahmi Ramli dikutip Geo News.
"Kami sudah berkoordinasi dengan dokter yang akan datang ke sini untuk melakukan pemeriksaan kesehatan awal para pengungsi ini, terutama yang sakit."
Dia menambahkan bahwa para pengungsi akan dipindahkan ke fasilitas pemerintah daerah.
Baca juga: 185 Pengungsi Rohingya Tiba di Aceh Indonesia, 20 Meninggal, Jenazahnya Terpaksa Dibuang ke Laut
Menurut salah satu penumpang, kapal tersebut berangkat dari Bangladesh pada 10 Desember.
"Kami merasa sangat senang karena tiba di sini. Mesin kami rusak dan juga tidak ada makanan di kapal," kata Fairus, 26 tahun, kepada wartawan.
Sekitar satu juta Rohingya diperkirakan tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh setelah mereka melarikan diri dari pembantaian di negara asal mereka, Myanmar pada 2017.
Empat kapal yang membawa pengungsi Rohingya sudah mendarat di Indonesia pada November dan Desember tahun lalu, membawa total lebih dari 400 penumpang.
Lebih dari 2.000 Rohingya diyakini telah mencoba melakukan perjalanan berisiko melalui laut pada tahun 2022, menurut badan pengungsi PBB UNHCR.
Badan tersebut memperkirakan hampir 200 Rohingya telah meninggal atau masih hilang setelah mencoba penyeberangan laut yang berbahaya tahun lalu.
Namun angka tersebut bisa meningkat setelah kerabat dari sekitar 180 pengungsi Rohingya yang berada di kapal lain yang hanyut di laut selama berminggu-minggu kehilangan kontak dan dikhawatirkan tewas.
UNHCR tidak dapat memastikan kematian mereka.
Tetapi juru bicara Babar Baloch mengatakan jika benar, ini akan menjadikan tahun 2022 sebagai tahun paling mematikan bagi penyeberangan Rohingya sejak 2013 dan 2014 ketika lebih dari 900 dan 700 dilaporkan tewas atau hilang.
Baca juga: 160 Etnis Rohingya Terdampar di Kapal di Perairan Lepas Kepulauan Andaman India
Siapa Rohingya?
Dilansir Britannica, Rohingya mengacu pada komunitas Muslim yang umumnya terkonsentrasi di negara bagian Rakhine (Arakan) di Myanmar (Burma).
Orang-orang Rohingya juga tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga seperti Bangladesh dan India.
Rohingya dianggap sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Pada awal abad ke-21, Rohingya menduduki sepertiga dari populasi di negara bagian Rakhine, sedangkan umat Buddha merupakan proporsi yang mayoritas dengan dua pertiga sisanya.
Penggunaan istilah Rohingya sangat ditentang di Myanmar.
Populasi Buddhis yang dominan menolak terminologi Rohingya, mereka memilih menyebutnya sebagai Bengali.
Populasi Buddhis menganggap Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh.
Saat sensus penduduk tahun 2014, yang pertama dilakukan dalam 30 tahun, pemerintah Myanmar membuat keputusan untuk tidak mendata mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Rohingya.
Pemerintah hanya akan mendata mereka yang menerima klasifikasi Bengali.
Langkah itu sebagai tanggapan atas ancaman boikot sensus oleh umat Buddha Rakhine.
Hampir semua Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan.
Mereka tidak dapat memperoleh kewarganegaraan sejak lahir di Myanmar karena Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982 tidak memasukkan Rohingya ke dalam daftar 135 kelompok etnis nasional yang diakui.
Sejak 2012, timbul pembatasan lebih lanjut atas hak-hak etnis Rohingya.
Sejak kuartal terakhir abad ke-20, banyak orang Rohingya secara berkala terpaksa meninggalkan rumah mereka—baik ke daerah lain di Myanmar atau ke negara lain.
Mereka harus pergi karena kekerasan antar komunitas atau yang lebih umum, kekerasan oleh tentara Myanmar.
Gelombang migrasi yang signifikan telah terjadi, termasuk pada tahun 1978, 1991–1992, 2012, 2015, 2016, dan 2017.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.