Sekolah Pendidikan Politik Bina Insan Mulia Kolaborasikan Pesantren dan Kekuatan Politik
Ubaydillah Anwar mengatakan saatnya pesantren perlu berkolaborasi dengan kekuatan politik untuk masa depan alumni dan pesantren.
Penulis: Husein Sanusi
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, CIREBON - Direktur Sekolah Pendidikan Politik Bina Insan Mulia, Ubaydillah Anwar mengatakan saatnya pesantren perlu berkolaborasi dengan kekuatan politik untuk masa depan alumni dan pesantren.
Hal itu dinyatakan di sela-sela pelaksanaan The Winning Workshop untuk para caleg PKB dari DKI dan Banten di Pesantren VIP Bina Insan Mulia 2 Cirebon pada 13-15 Juli 2023.
Workshop yang dihadiri 550 peserta itu diisi pemateri tingkat nasional, di antaranya Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia; Jazilul Fawaid Wakil Ketua Umum DPP PKB; Ida Fauziayh, Menaker RI sekaligus Wakil Pemenangan Pemilu; Eep Saifullah Fatah dari PolMark; Silih Agung Wasesa dari AsiaPR; dan Djayadi Hanan dari LSI.
Baca juga: Universitas Darunnajah Gelar Workshop Manajemen Wakaf Produktif dan Kaderisasi SDM di Pesantren
Terkait pernyataannya, Ubaydillah menjelaskan bahwa arah dan isi pembangunan Indonesia lebih banyak ditentukan kekuatan politik.
Sementara jumlah kaum santri yang berada di wilayah Indonesia masih terbatas.
Tentunya, ini sangat berdampak pada kiprah santri dan nasib pesantren.
“Banyak santri yang telah dididik 24 jam di pesantren namun tidak bisa berperan di titik-titik sentral pembangunan karena langkahnya terhalang oleh ‘barrier’ politik. Solusinya, harus banyak santri yang menjadi politikus-negawaran supaya bisa memikirkan nasib santri,” katanya.
Baca juga: Caleg Harus Gelontorkan Dana Hingga Rp 200 Juta untuk Berlangganan Konsultan Politik Berbasis AI
Soal nasib pesantren, Ubaydillah memberikan bukti bahwa sejak Indonesia merdeka, ijazah pesantren tidak diakui pemerintah, padahal kontribusi pesantren terhadap kemerdekaan sangat besar.
Barulah ketika era Gus Dur menjadi presiden, pengakuan itu ada.
“Ini soal komunikasi dan bargain politik,” ujarnya.
Bentuk kolaborasi yang ideal antara kekuatan politik dan pesantren menurut Ubaydillah dapat mencontoh langkah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Imam Jazuli, dengan mendirikan Sekolah Pendidikan Politik Bina Insan Mulia.
Sekolah ini murni untuk pembekalan ideologi, skill, strategi, taktik, manajemen logistik, dan networking yang dikhususkan untuk santri yang telah memiliki modal sosial dan kapital di masyarakat.
Sekolah Pendidikan Politik Bina Insan Mulia berdiri sejak 2018 dan telah mengeluarkan alumni sebanyak 850 orang.
Seiring waktu, pada tahun 2021, kiprah sekolah ini menemui kecocokan dengan perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam hal menjaga mazhab Aswaja, NU, kepesantrenan, dan kebangsaan.
Sejak saat itu perhatian besar diberikan kepada PKB dan kadernya.
“Perjuangan politik saya total untuk PKB,” kata Kiai Imam Jazuli dalam pidato penutupan.
Totalitas kiai dengan julukan ‘without the box thinker’ itu telah ditunjukkan sejak lama.
Baca juga: PSI Akan Gunakan Konsultan Politik Berbasis AI Supaya Hemat Biaya
Mulai dari penyebaran tulisan ideologis di berbagai media, buku, video, kaos, fasilitasi dan bantuan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk kemajuan PKB.
Selain pembekalan caleg, Kiai Imam Jazuli juga menjadi penggagas gerakan Ngaku NU Wajib Ber-PKB.
“Ibarat emas, orang yang mengaku NU dalam tata cara ibadahnya namun tidak ber-PKB dalam berpolitik, itu masih belum 24 karat kadar emasnya,” katanya.
Dalam sambutannya, Imam Jazuli juga mengarahkan agar Sekolah Pendidikan Politik Bina Insan Mulia dan LPP DPP PKB segera menyusun perencanaan yang matang untuk kegiatan pembekalan para caleg di daerah prioitas di seluruh Indonesia.
Sementara kepada para pengasuh pesantren yang menjadi tamu undangan, Kiai Imam Jazuli mengajak agar pesantren tidak lagi hanya fokus di proses pendidikan di dalam.
Sudah saatnya membangun kolaborasi dengan kekuatan politik untuk memfasilitasi kiprah alumninya di sentral pembangunan.
Tentunya, tegas Kiai Imam Jazuli, harus dengan cara-cara yang tidak merusak agenda dan esensi pendidikan. (Tribunnews.com/ Husen Sanusi)