Warga Menolak Investasi Kelapa Sawit di Boven Digoel Papua yang Ambil Tanah Adat
Sebagai Ketua Marga, Bernol Tingge menegaskan bahwa pihaknya menolak keras masuknya investasi kelapa sawit di atas tanah adat mereka.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar

TRIBUNNEWS.COM, PAPUA – Marga Tingge, salah satu suku adat di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, menyampaikan penolakan tegas terhadap investasi perkebunan kelapa sawit yang direncanakan oleh salah satu perusahaan.
Penolakan ini muncul setelah perusahaan tersebut diduga melakukan penyerobotan tanah adat secara sepihak tanpa melibatkan pihak marga Tingge, yang merupakan pemilik sah tanah tersebut.
Baca juga: DPR Soroti Tanah Adat yang Diserobot Pengusaha, Sebut Warga Papua Masih Sulit Mencari Keadilan
Menurut informasi yang diterima, izin lokasi untuk aktivitas perusahaan tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Boven Digoel, yang diwakili oleh Kepala Dinas PTSP beserta tim teknis, tanpa adanya koordinasi dengan marga Tingge.
Marga Tingge mengungkapkan bahwa diskusi publik yang dilakukan oleh perusahaan pun tidak melibatkan perwakilan mereka, yang jelas-jelas memiliki hak atas tanah adat tersebut.
Sebagai Ketua Marga, Bernol Tingge menegaskan bahwa pihaknya menolak keras masuknya investasi kelapa sawit di atas tanah adat mereka.
Bernol juga menjelaskan bahwa proses perizinan yang dilakukan perusahaan sejak awal tidak mengikuti prosedur yang benar, serta mengabaikan hak-hak adat yang dijamin oleh Undang-Undang Republik Indonesia.
"Kami sangat keberatan dengan langkah perusahaan yang menghubungi pihak-pihak tertentu yang tidak memiliki hak atas tanah adat ini. Hal ini tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan kami menilai bahwa pemerintah keliru dalam proses perizinan tersebut," ujar Bernol.
Selain itu, marga Tingge juga menyatakan keberatannya terhadap rencana penggundulan hutan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh investasi kelapa sawit.
Bernol mengingatkan bahwa hutan di wilayah mereka memiliki habitat flora dan fauna yang sangat berharga dan harus dijaga kelestariannya.
"Kami sangat bergantung pada hutan untuk kehidupan kami. Hutan ini adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat kami, baik untuk bertani maupun untuk kebutuhan lainnya. Kehadiran investasi ini akan merusak semuanya, termasuk hutan sagu yang merupakan bagian tak terpisahkan dari adat kami," jelas dia.
Baca juga: Pemangku Adat dan Cendekiawan Simalungun Klarifikasi ke KLHK soal Tanah Adat, Ini Rekomendasinya
Marga Tingge menilai bahwa pengalaman masyarakat adat di daerah sekitar yang sudah lebih dahulu menerima investasi kelapa sawit menunjukkan dampak sosial yang merugikan.
Mereka menilai bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak membawa manfaat nyata bagi masyarakat adat, bahkan sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan, serta menambah ketergantungan masyarakat pada perusahaan.
"Masyarakat adat berharap agar perusahaan-perusahaan ini bisa membantu dalam pendidikan anak-anak mereka, namun kenyataannya, janji-janji tersebut tidak pernah terwujud. Kami tidak ingin nasib yang sama menimpa masyarakat adat Pingge," tegasnya.
Atas dasar pertimbangan ini, marga Pingge menegaskan bahwa mereka akan terus berjuang untuk mempertahankan tanah adat mereka dan menolak segala bentuk investasi yang merusak lingkungan serta kehidupan mereka sebagai masyarakat adat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.