INDEF: Pemerintah Kurang Banyak Belanja Riset
Selama ini belanja riset Indonesia hanya sebesar 0,2% terhadap PDB selama dua tahun terakhir.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laporan Global In
Baca: Isi Bocoran Surat Sri Mulyani ke Kementerian ESDM tentang Kondisi Keuangan PLN
novation Index yang terbit tahun 2017 menyebutkan, peringkat inovasi Indonesia berada di posisi 87 dari total 127 negara atau hanya naik 1 peringkat dibanding tahun sebelumnya. Sementara di ASEAN, Indonesia berada jauh di bawah Malaysia (37), dan Vietnam (47).
Ekonom Indef Berly Martawardaya berpandangan, hal ini terjadi karena pemerintah yang minim belanja litbang atau riset.
Selama ini belanja riset Indonesia hanya sebesar 0,2% terhadap PDB selama dua tahun terakhir. Sementara negara lain di ASEAN seperti Singapura dan Thailand sudah diatas 2,5%.
"Dengan anggaran Pemerintah yang terbatas dalam hal riset, peran swasta harus lebih banyak dilibatkan. Swasta bisa berkontribusi apabila ekosistem riset termasuk kebijakan inovasi yang berkaitan dengan paten mendukung," ujar Berly ketika ditemui di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu (27/9/2017).
Baca: Minna Padi Investama Kuasai 51 Persen Saham Bank Muamalat
Selain itu, Berly menambahkan perlunya insentif bagi Peneliti. Hal ini perlu untuk menarik Peneliti dan lembaga untuk berlomba-lomba mendaftarkan patennya.
Mencontoh negara lain seperti Jepang dan Korea, kunci keberhasilan mendorong pertumbuhan paten terkait erat dengan insentif yang diberikan oleh Pemerintah.
"Insentif bisa berupa pemotongan pajak pada perusahaan yang inovatif baik melalui tax allowance, > 100 % tax deduction on research expenditure dan tax holiday atau skema insentif non-fiskal lain termasuk mempermudah prosedur dan biaya pendaftaran paten," katanya.
Dengan dua hal itu dan ditambah hasil riset Indef yang menyatakan, setiap 1% kenaikan jumlah paten yang terdaftar berkorelasi positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,06%, maka Berly berharap makin banyaknya inovasi di Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Reporter: Choirun Nisa