Siswa SMK di Surabaya Nekad Bunuh Diri, Ini Saran Psikolog Jika Punya Keinginan Bunuh Diri
Psikolog menanggapi terulangnya kasus bunuh diri di Indonesia. Berikut saran psikolog bagi setiap orang yang mulai memiliki keinginan bunuh diri.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Menanggapi terulangnya kasus bunuh diri, Psikolog Keluarga Adib Setiawan, S.Psi., M.Psi memberi saran bagi masyarakat yang merasa tertekan hingga memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Menurut Adib, hal yang paling diperlukan oleh seseorang yang merasa tertekan hingga ingin bunuh diri adalah bercerita dengan orang lain.
"Berceritalah denga teman, orangtua, saudara kandung, siapapun boleh," kata Adib saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (14/1/2020).
Adib menurutkan, bercerita dapat membuat seseorang merasa bebannya berkurang.
Masalah yang dihadapi bisa lepas setelah berbagi dengan orang lain.
"Dengan cerita itu memungkinkan masalah itu lepas," ujarnya.
Selain itu, Adib menyampaikan, seseorang yang mulai memiliki keinginan bunuh diri sebaiknya berkonsultasi pada psikolog.
"Kalau perlu ya datang ke psikolog, cerita ke psikolog supaya dapat terapi dari psikolog," kata Adib.
"Karena kalau cerita ke teman, orangtua, bisa saja malah disalah-salahin dan itu bisa bikin makin depresi," sambungnya.
Namun, Adib menekankan, hal yang paling penting tetaplah cerita atau meminta bantuan yang diperlukan.
"Yakin lah, namanya di dunia ini tidak semua teman cuek, pasti ada yang perhatian juga," tutur Adib.
"Setidaknya beban hidup berkurang dengan bercerita," sambungnya.
Menghadapi Teman yang Memiliki Tekanan Psikis hingga Berkeinginan Bunuh Diri
Sebagai seorang teman, dalam menghadapi teman lainnya yang memiliki tekanan psikis hingga berkeinginan bunuh diri, hal yang perlu dilakukan adalah mendengarkan dengan berempati.
"Yang terpenting jangan menyalahkan," tegas Adib.
"Dengerin aja, nggak harus memberikan solusi tidak apa-apa, yang penting dengerin dengan penuh empati," sambungnya.
Hal senada disampaikan seorang psikolog sekaligus pendiri Lembaga Psikologi Anava Maya Savitri, S. Psi, CHt.
"Sebaiknya, sebagai teman, kita mengajak ngobrol dari hati ke hati," tutur Maya, Selasa (14/1/2020).
"Karena dengan curhat, ada perasaan yang lebih plong," tambahnya.
Selain itu, menurut Maya, jika memiliki teman dengan kondisi psikis yang tertekan, kita dapat mengajaknya melalukan berbagai aktivitas yang menyenangkan.
"Ajak aktivitas yang menyenangkan seperti berolahraga, berkegiatan seni, dan lain-lain," kata Maya.
"Motivasilah anak tersebut untuk mau jujur berbicara tentang perasaannya pada keluarganya," sambung dia.
Kasus Bunuh Diri
Dikutip dari Surya.co.id, sebelumnya,RH ditemukan bunuh diri di dapur rumah tempat tinggalnya di Jalan Pacar Keling Surabaya, Senin (13/1/2020).
RH ditemukan pertama kali oleh ayahnya.
Ayahnya menemukan RH sudah dalam kondisi tergantung dengan leher terikat tali sabuk di sebuah kayu balok yang melintang antara kamar dan dapur.
Seorang saksi mata berinisial CM menyebut, di sekitar jasad korban RH ditemukan sebuah surat wasiat.
Menurut CM, isi surat wasiat RH bercerita tentang persoalan keluarga.
Surat wasiat tersebut berisi perasaan putus asa.
RH dalam surat itu malah meminta keluarganya agar tak perlu membiayai hidupnya lagi.
Bahkan, ia ingin uang keluarganya digunakan untuk renovasi rumah.
Peran Keluarga untuk Cegah Bunuh Diri
Menurut Maya, RH mengalami kesulitan dalam menyampaikan masalah yang dimilikinya pada keluarga.
Maya pun menilai RH merupakan sosok pendiam.
"Kalau dilihat, dia mempunyai persoalan yang tidak bisa tersampaikan ke orang lain, dalam hal ini keluarga, dan dia pendiam," tutur Maya saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (14/1/2020).
"Hal ini yang membuat kondisi psikisnya menjadi labil," sambungnya.
Maya menuturkan keluarga, khususnya orangtua, memiliki peran untuk mencegah kasus bunuh diri.
Menurutnya, kasus bunuh diri yang terjadi pada seorang pelajar SMK berinisial RH di Surabaya itu memungkin dipicu oleh kurangnya komunikasi antara RH dengan orangtuanya.
Pasalnya, Maya menjelaskan, kuat atau lemahnya karakter seseorang terbentuk dari keluarga.
"Karena keluarga adalah inti dari tumbuh kembangnya seorang anak dan pembentukan awal kuat atau lemahnya karakter seseorang," terang Maya.
Psikolog Keluarga Adib Setiawan, S.Psi., M.Psi pun sependapat.
Adib menyampaikan, untuk mencegah kasus bunuh diri, orangtua berperan dalam menciptakan karakter kuat pada diri anak-anaknya.
"Bagaimana menciptakan anak yang memiliki pribadi yang kuat, ini kan sangat penting," tutur Adib saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (14/1/2020).
Psikolog dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia itu pun memberikan sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk membentuk anak memiliki pribadi yang kuat.
1. Melatih anak untuk mandiri sesuai usianya
Psikolog dari Bintaro, Jakarta Selatan itu menuturkan, orangtua dapat membentuk anak memiliki pribadi yang kuat dengan melatihnya memiliki kemandirian yang sesuai dengan usianya.
Adib mencontohkan, hal itu dapat dilakukan dengan membiasakan anak yang sudah duduk di bangku SD untuk dapat memakai baju sendiri.
"Kemudian untuk anak yang sudah SMP, bisa dibiasakan untuk berani naik angkutan umum sendiri, misalnya," terang Adib.
2. Melatih anak untuk dapat memecahkan masalah
Selain itu, menurut Adib, cara-cara untuk melatih anak memecahkan masalah juga diperlukan untuk membentuk pribadi yang kuat.
3. Melatih anak untuk dapat menerima kenyataan hidup
Menurut Adib, kadangkala remaja membandingkan hidupnya dengan hidup teman-temannya.
Tak jarang, hal itu ia lakukan tanpa melihat kondisi orangtuanya.
"Dia berharap bahwa orangtuanya bisa seperti orangtua teman-teman lain," kata Adib.
Lebih lanjut, Adib menyampaikan, penting bagi orang tua untuk memberi pengertian pada anaknya yang berusia remaja agar ia mampu menerima kenyataan hidupnya.
"Remaja harus mengerti hidup ke depan itu perlu dihadapi jadi bukan hanya menuntut orangtua tapi bagaimana mengerti orangtua," tuturnya.
Namun, Adib pun melarang orangtua untuk bersikap egois.
"Sebagai orangtua juga jangan egois atau keras kepala, misal anaknya sudah ngomong tapi nggak didengarkan gitu," kata Adib.
"Kemauan-kemauan anak harusnya didengar juga jadi orangtua jangan memaksakan kehendak," tambahnya.
Kendati demikian, Adib tidak membenarkan orangtua yang selalu menuruti setiap kemauan anaknya.
Menurut Adib, yang tepenting adalah adanya ruang komunikasi antara orangtua dan anak.
"Tidak hanya mendengarkan lalu menuruti semua kemauan anak gitu, tapi bagaimana ketika nggak nurutin, orangtua memberi alasan," tutur Adib.
"Harus dikomunikasikan sehingga anak mengerti bahwa orangtua juga punya beban hidup, bahwa hidup ini memang ada beban masing-masing," lanjutnya.
Adib menambahkan, dengan mengerti adanya beban-beban hidup yang perlu dihadapi, seorang anak remaja akan memiliki karakter yang lebih kuat.
"Jadi tentang bagaimana remaja ini punya karakter yang kuat sehingga beban-beban itu mampu dihadapi, bisa ditanggulangi," tuturnya.
4. Tidak berkata negatif pada anak
Adib mengatakan pemilihan kata-kata orangtua untuk disampaikan pada anak sangatlah penting.
"Kalau orangtuanya sering marah-marah, kan anak makin stres," kata Adib.
Sebaliknya, menurut Adib, jika orangtua dapat memberikan kata-kata positif saat berbicara dengan anaknya maka anak tersebut akan termotivasi dan menjadi pribadi yang positif.
Adib pun mencontohkan kalimat positif yang perlu disampaikan pada anak, yaitu seperti mengatakan 'kamu adalah anak yang kuat', 'kamu adalah anak yang pintar', 'kamu adalah anak yang saya sayangi', 'kamu adalah anak yang punya cita-cita, punya masa depan', atau 'kamu adalah anak yang hebat'.
Ia menambahkan, seorang anak yang mendapat kata-kata negatif ketika gagal, seperti mendapat kalimat 'gitu aja putus asa', 'gitu aja lembek', atau 'gitu aja cemen' dari orangtuanya maka ia akan mudah putus asa.
"Kalau anak sering dihina dengan kata-kata negatif ya akhirnya menjadi mudah putus asa," tutur Adib.
"Jadi bagaimana orangtua membangkitkan motivasi anak dengan kata-kata positif, jangan pernah ngatain anak dengan kata-kata negatif," sambungnya.
Adib juga menyampaikan, kata-kata negatif tersebut bisa memunculkan trauma bagi anak.
Dampak terburuknya, anak bisa menjadi putus asa kemudian bunuh diri.
"Kata-kata negatif ini akan membuat anak trauma dan membuat anak ini semakin pesimis sehingga larinya ke putus asa," kata dia.
"Kalau orang sudah putus asa, larinya bunuh diri," tambahnya.
Adib pun merasa prihatin dengan tindakan bunuh diri yang baru saja dilakukan oleh sosok berinisial RH.
"Saya sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada pemuda tersebut," kata Adib.
"Sebenarnya seorang manusia itu kan diberikan karunia kehidupan, bahwa kehidupan ke depan itu pasti lebih indah," lanjutnya.
Ia juga menyayangkan tindakan nekat yang dilakukan RH.
"Seharusnya dia bisa kuat untuk menghadapi tantangan dan rintangan, ini kan sepertinya dia kecewa dengan orangtuanya," tutur Adib.
Membangun Kedekatan Antara Orangtua dan Anak Juga Diperlukan
Sementara itu, Psikolog Maya menyampaikan, kasus yang menimpa RH ini dapat dihindari dengan membangun hubungan yang lebih dekat antara orangtua dengan anak.
"Orangtua harus merangkul anak-anaknya dan peka terhadap kebutuhan anak-anak," terang Maya.
Pasalnya, Maya menegaskan, kebutuhan anak-anak tidak sebatas materi saja.
"Karena kebutuhan anak-anak tidak hanya materi tapi juga kedekatan hati dengan orang tua," kata Maya.
Maya juga menekankan, orangtua harus dapat menjadi tempat bercerita bagi anak-anaknya.
Terutama, bagi orangtua yang memiliki anak berusia remaja.
"Orangtua perlu mendengarkan apa yang dirasakan dan dipikirkan anak-anak remaja," tutur Maya.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (Surya.co.id/Firman Rachmanudin)
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul 'Pelajar SMK Gantung Diri, Tinggalkan Surat Wasiat Berisi 'Aku Sudah Tak Punya Cita-cita Lagi'